undefined
undefined
WIJI TUKUL
“Suara-Suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana
bersemayam kemerdekaan, apabila engkau memaksa diam, aku siapkan untukmu;
pemberontakan!”. (Sajak Suara; Widji Thukul).
Kalimat heroik nan provokatif di atas adalah salah
satu lantunan puisi perlawanan Widji Thukul. Puisi ini lantang diucapkan Widji
Thukul ketika gaung reformasi pada Mei 1998 sedang memanas. Sehingga Mei tahun
ini tepat 14 tahun pasca reformasi sekaligus hilangnya Widji Thukul. Meski
patut disesalkan, bahwa harapan reformasi masih belum bisa dirasakan hingga
kini.
Mungkin bagi pembaca nama Widji Thukul agak asing di
telinga. Memang, dikalangan khalayak umum nama Widji Thukul tidak setenar WS.
Rendra atau Gunawan Moehammad. Tapi jangan salah, jika mendengar puisinya bulu kuduk
kita akan berdiri, merinding.
Widji Thukul lahir pada 24 Agustus 1963 di
Saragenen, sebuah kampung kecil di daerah Solo, Jawa Tengah. Nama aslinya
adalah Widji Widodo, anak tukang becak dari keluarga Katolik. Widji Thukul
dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar penduduknya hidup bekerja
sebagai penarik becak. Karenanya, Ia tak mampu mengeyam pendidikan tinggi.
Bahkan tarena tekanan ekonomi terpaksa ia harus keluar dari bangku SMA.
Semenjak
putus sekolah, Widji Thukul mencari nafkah sendiri melalui pelbagai pekerjaan
tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang semir mebel, hingga buruh
harian. Disamping itu, ia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung,
sesekali diiringi musik gamelan.
Minat dan bakat Widji Thukul di dunia seni
menjadikannya terlibat pelbagai aktifitas kesenian di Solo. Ia pernah mengambil
bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa
Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta
radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat
kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo
diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta.
Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain
telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4
Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan
Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ” Aku sedang belajar
untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi”.
Saat ini puisi-puisi Wiji Thukul yang semula
tercecer dalam pelbagai kumpulan (antologi) buku puisi, kini telah disatukan ke
dalam buku: Aku Ingin Jadi Peluru. Buku ini diterbitkan oleh
Penerbit TERA, Magelang.
Suara Akar Rumput
Widji Thukul hidup di masa konstelasi politik yang
hendak menarasikan ideologisasi publik. Di tangan kekuasaan rezim orde baru,
buku, teks sejarah, hingga film dokumenter didendangkan menurut kepentingan
pemerintah. Rakyat harus diam dan taqlid buta pada pemerintah. Rakyat
ibarat terkurung di sangkar tirani. Suara sumbang yang berseberangan dengan
pemerintah musti kena batunya.
Nah, kondisi ini memicu kemarahan Widji Thukul
membuncah. Ia mengutuk tindakan hegemoni dan represif rezim orde baru. Namun Ia
juga sadar tidak mungkin melakukan perlawanan lewat acungan pistol. Karena hal
itu sama artinya dengan bunuh diri. Maka lewat puisi, Widji Thukul melakukan
perlawanan.
Jangan heran jika menikmati puisi dan teater Widji
Thukul membuat kita merinding bahkan gejolak perlawan mencapai klimaks.
Kata-katanya mengalir dengan lugas dan jelas. Tak usah perlu mengernyitkan dahi
memahami puisinya. Kata-katanya pun jujur, merdeka dari polesan kosmetik dan
teori-teori politis.
Salah satu kata-kata Widji Thukul yang paling
fenomenal dan sering digunakan oleh para demonstran, adalah “Maka hanya ada
satu kata: Lawan!!” (Widji Thukul, 1996). Kata-kata ini terus
bergaung hingga sekarang guna mengawal stabilitas sosial-politik. Mahasiswa, buruh
dan kaum proletar lainnya menjadi corong pekikan Widji Tukhul melihat
ketidakadilan.
Berjuang memang tidak bisa sendiri. Wiji Thukul
bersama beberapa kawannya (seniman, aktivis mahasiswa, dan aktivis pro-dem
lainnya) membentuk dan mengembangkan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER).
Ia juga bergabung dengan Persatuan Rakyat Demokratik (yang kemudian menjadi
Partai), dan pada Kongres Pertamanya di tahun 1994 ia terpilih sebagai Ketua
Divisi Budaya.
Tahun 1995 Widji Thukul nyaris kehilangan penglihatannya
akibat kebrutalan aparat saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex.
Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai biang
kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru. Widji Thukul bersama anggota-anggota
sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih
terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui rimbanya hingga kini.
Thukul dikategorikan sebagai "orang hilang", korban-korban penculikan
pemerintahan militer Orde Baru.
Sipon, Istri Widji Thukul, hingga kini masih meminta
keadilan dan kejelasan hilangnya jejak suaminya kepada pemerintah. Namun
hasilnya pun nihil. Widji Thukul masih tak terendus rimbanya. Ia hilang bak
ditelan bumi. Kendati demikian, pada tahun 2002 Widji Thukul menerima
penghargaan Yap Tiam Hien Award atas jasanya di bidang penegakan hukum. Meskipun
tak jelas dimana rimbamu, ku ingin memekikkan kembali ucapanmu, “Hanya ada
satu kata: Lawan!!” .(*)
*Penulis adalah Ulil Albab, Alumnus
Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
This entry was posted
on Jumat, Desember 13, 2013
at 1:55 AM
and is filed under
Sastra
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.