undefined
undefined
Tatkala Agamawan Menjadi Abdul Butun
Dewasa ini kita dikejutkan oleh pemberitaan miris
dan menyesakkan hati. Hasil survey KPK mengabarkan bahwa ada dugaan tindak
korupsi pengadaan Al-Qur’an. Proyek ini tak lain adalah salah satu agenda
tahunan Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementrian Agama. Kasus ini
menyeret nama politisi Golkar, Dzulkarnain Jabar, anaknya serta sejumlah
pejabat Kemenag.
Kasus ini sekaligus menunjukkan kepada publik bahwa
korupsi di negeri ini sudah terjadi di segala bidang. Termasuk bidang yang
terkait dengan agama, yang semula sangat tabu bila sampai melakukan korupsi.
Kita pasti terkejut bagaimana mungkin sebuah
institusi yang memiliki lambang sakral (Al-qur’an), melakukan korupsi pengadaan
kitab suci. Pun lembaga yang di dalamnya berhimpun karyawan dan pimpinan
berjiwa agamis, namun kenyataannya jiwa agama sama sekali tidak termanifestasi
dalam etos kerjanya.
Kasus korupsi ini tentunya semakin memperburuk citra
Kemenag di mata publik. Pasalnya, korupsi berlabel agama ini bukan kali
pertama. Beberapa tahun silam di tubuh Kemenag (dulu Depag) juga pernah terjadi
korupsi dana abadi ‘haji’ di Depag dan pelakunya juga dipenjara. Akibatnya
Kemenag kian lekat dengan nuansa korup.
Akhir tahun 2011 lalu, juga masih dari hasil survey
KPK menunjukkan bahwa Kemenag adalah lembaga terkorup. Data survey KPK November
2011 menyebut Kementerian Agama adalah Kementerian yang paling rendah tingkat
intregitasnya yaitu 5,37 jauh di bawah kementerian Transmigrasi 5,44 maupun
kementerian Koperasi UKM 5,52.
Melihat kasus ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din
Syamsudin, angkat bicara. Menurutnya, Semestinya, kementerian tersebut
bercermin dari label yang kadung beredar sebagai lembaga terkorup. Jangan
sampai terjadi, Kemenag menjadi juara bertahan sebagai kementerian paling korup.
Transparansi dalam mengelola dana umat diperlukan untuk menjaga amanat.
Kita tentu masih ingat Hari Amal Bhakti (HAB) ke 66
(3/1) Kemenag mengusung tema bebas dari korupsi. Tema tersebut berbunyi
‘Mempertegas komitmen untuk membangun Kementrian Agama yang bebas dari
korupsi’. Namun, tema tersebut hanya narasi menarik tapi nir-aplikasi. Buktinya
kembali ditemukan dugaan korupsi pengadaan al-Qur’an akhir-akhir ini.
Disfungsi Agama
Era globalisasi telah mengakibatkan setiap individu
bersifat hedonis-materalistik. Hanya materi yang menjadi barometer kehidupan
manusia. Tak pelak kondisi memicu setiap individu berlari kencang untuk
mendapatkan limpahan materi. Meskipun tidak jarang harus menggunakan cara-cara
yang kurang terpuji.
Korupsi menjadi cara instan untuk meraup materi yang
berlimpah. Nilai agama pun menjadi absurd dan tak berperan fungsional bagi
manusia. Menurut John Dewey, hilangnya makna keberagaman mengakibatkan
manusia-manusia modern menjadi lebih dungu. Bahkan lebih bodoh daripada manusia
primitif dalam melakukan filteralisasi terhadap diri sendiri. Mereka berlaku
seperti busa yang mudah dihempaskan oleh kepentingan dunia.
Bagi kalangan psikolog, korupsi berlabel agama bukan
suatu yang mengherankan. Karena pada prinsipnya, semua manusia memiliki sikap
bawaan hedonis-pragmatik. Bukan hanya untuk non-agamawan, bahkan agamawan pun
terkena hukum yang sama. Maka jangan kaget jika Kemenag adalah sarang koruptor.
Atau bahkan ke depan kian menjamur koruptor berjubah agama di sektor yang
berbeda.
Meskipun di sisi lain kita juga melihat kondisi
tersebut bertentangan dengan nilai agama. Karena jika menilik fungsi substansif
agama adalah rahmatal lil ‘alamin. Bagi Dalai lama (1989), pemimpin
Budhisme Tibet, agama adalah manifesto dari moral dan etika. Ia juga secara
tegas mengatakan bahwa esensi dari semua agama adalah rasa kasih sayang dan
tindakan positif yang lain. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan tindakan
destruktif-anarkisme. Ketika ada pemeluk agama melakukan tindakan destruktif,
fisik dan nonfisik, maka artinya ia belum memahami hakikat beragama.
Tindakan Intolerir
Bagaimana pun juga tindakan korupsi pengadaan
al-Qur’an di Kementrian Agama merupakan tindakan yang tidak bisa ditolerir. Kasus
ini bisa dikatakan termasuk bentuk penghinaan terhadap al-Qur’an. Pasalnya,
nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an mengajarkan etika dan moralitas.
Bahkan jelas al-Qur’an mengutuk tindakan korupsi.
Korupsi ini juga bisa dikatakan tindakan terkutuk.
Karena pejabat keagamaan yang seharusnya menjadi tauladan bagi umat, malah
bermental korup. Meskipun watak manusia adalah hedonis, tapi sebagai pejabat
agama mustinya mereka mampu mengendalikan diri. Mereka juga selayaknya
menggunakan nilai-nilai agama secara fungsional.
Kasus ini memiliki ekses negatif terhadap agama
Islam. Tidak menutup kemungkinan label baru Islam sebagai agama dengan pemeluk
terkorup pun akan disandang. Setelah sebelumnya Islam terkena stigmatisasi
terorisme. Apalagi al-Qur’an sebagai obyek korupsi, sungguh sangat memalukan.
Pelaku korupsi pengadaan Al-Qur’an sudah sepatutnya
terdakwa dihukum seberat-beratnya. Karena ini merupakan contoh yang tidak baik
di kalangan pejabat berlabel agama. Bahkan hukum potong tangan pun kiranya
tidak berlebihan. Pasalnya, korupsi kali ini menyangkut kitab suci agama dimana
di dalamnya juga berlaku hukum tersebut bagi pelaku pencuri (Al-Maidah;38). (*)
*Penulis
adalah Abdullah Hanif, Pegiat Pada Duta Institute Jogjakarta
This entry was posted
on Jumat, Desember 13, 2013
at 1:48 AM
and is filed under
Keislaman
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.