undefined
undefined
Rekonsiliasi Islam dan Barat, Mungkinkah...!!??
Meletusnya peristiwa
kelam pemboman di gedung World Trade Center (WTC) di Pentagon, USA membuat
dunia internasional terhentak. Akibat serangan teroris yang membabi buta pada
11 September 2001 tersebut, tak kurang 3000 nyawa tak berdosa melayang. Tragedi
tersebut membuat dunia tersentak dan dunia politik internasional mengalami
depresi global. Walhasil, muncullah seruan global berupa perang terhadap
terorisme.
Sebelas tahun silam
tragedi WTC terjadi, sama artinya dengan sebelas tahun pula Islam tersandera di
lumpur pekat label “Sarang Teroris”. Pasalnya, pasca meletusnya tragedi
tersebut stigma global mengarah pada agama Islam. Islam dipojokkan sebagai
pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi WTC. Jaringan Al-Qaeda, dengan
Osama Bin Laden sebagai punggawanya, menjadi kelompok yang dibenci dan paling
diburu di dunia.
Meskipun ada opini lain yang menyebut bahwa munculnya label terorisme
hanyalah propaganda Barat untuk menjajah negara-negara Islam. Pasca runtuhnya
gedung WTC New York, 11 September 2001, sebagian besar pengamat berkeyakinan,
penyebab utama munculnya peristiwa itu, adalah imperealisme dan agresi AS di
berbagai belahan dunia, serta perampokan harta dan kekayaan bangsa dunia ketiga
oleh mereka.
Hal yang hampir
serupa dikemukakan oleh Presiden
Republik Islam Iran, Dr. Mahmod Ahmadinejad. Menurutnya sumber munculnya
terorisme sesungguhnya lahir dari kekuatan arogan global. Terorisme adalah
hasil dari manajemen non-ilahi, supremasi kekuatan dan materi terhadap
kemanusiaan, dan lahir dari sebuah aliran pemikiran yang telah menyingkirkan
moral dan kemanusiaan.
Tepat pada 11
September 2012 kemarin, National September 11 Memorial and Museum di New
York, US meresmikan sekaligus membuka museum peringatan tragedi kemanusiaan
tersebut untuk umum. Pembangunan museum ini mengandung multi tafsir. Yang pasti
dan tak bisa dipungkiri bahwa fungsi utama museum adalah media pengingat.
Dikhawatirkan adanya museum tersebut kian menambah kebencian Barat terhadap
Islam. Apalagi museum juga memiliki sifat jangka panjang. Dus, jika konflik
antara dua elemen ini tidak segera dihentikan akan merembet kepada generasi
selanjutnya. Tentu kita tidak berharap asumsi ini terwujud.
Ekses Ketegangan
Stigmatisasi
sebagai agama produsen teroris terus dialamatkan pada Islam. Pihak AS
mencurigai aksi terorisme dilakukan kelompok radikal di dunia Islam, sebaliknya
pihak Islam mencurigai AS dan sekutu-sekutunya ingin menghancurkan Islam dengan
melancarkan propaganda yang amat berlebihan. Maka mengutip tesis Bernad Lewis
dan Samuel P Huntington, yang pada gilirannya memunculkan ketegangan emosional
antara dunia Islam dan Barat.
Akibat pemojokan
tersebut paling tidak melahirkan tiga ekses. Pertama, Jika Islam terus
disudutkan, ditekan, dan dicurigai oleh kelompok di luarnya, bukan berarti
semakin memperlemah dan menyudutkan gerakan Islam. Justru yang terjadi adalah
gerakan Islam menjadi semakin radikal dan siap mati untuk melawan atas nama
agama.
Kedua, Bukan tidak mungkin, kelompok Islam yang sudah cukup moderat berubah
haluan menjadi radikal melawan kebijakan AS. Bukankah ini yang tidak kita
inginkan? Kelompok moderat yang sudah susah payah menjelaskan kepada masyarakat
internasional bahwa Islam tidak didominasi oleh kelompok radikal menjadi
berbalik mengecam provokasi yang menyudutkan Islam.
Ketiga, Radikalisasi umat tak bisa dibayangkan jika didukung oleh semangat
nasionalisme. Hal ini terjadi ketika ada intervensi asing terhadap kedaulatan
dalam negeri. Nasionalisme yang dibungkus oleh agama sangat efektif untuk
menggerakkan perlawanan terhadap kepentingan asing.
Fenomena ini
menjadikan pengikut agama mendefinisikan eksistensi agamanya untuk mensikapi
modernitas yang serba-rasional dan sekuler. Itu sebabnya, di dalam komunitas
agama ada yang frustasi dengan penyingkiran agama oleh proses modernisasi yang
rasional dan sekuler. Munculnya fundamentalisme dan radikalisasi agama
adalah bagian dari dialektika yang negatif antara agama dengan modernisasi. (Andrea,
2010)
Hal ini tampak
sekali dari pengalaman umat Islam di beberapa kawasan dunia yang banyak
melahirkan radikalisasi akibat serangan bertubi-tubi ‘Barat’ lewat demokrasi,
‘HAM’, dan isu gender ke negara-negara Muslim. Tak pelak lagi, banyak
bermunculan sikap penolakan terhadap konsep modern Barat secara radikal akibat
tidak tersedianya doktrin agama yang eksplisit (bukan berarti tidak ada)
tentang itu.
Resolusi
"Islamphobia, itulah istilah yang dihembuskan oleh pihak Barat dan kini tengah
mendera dunia global. Istilah ini melegetimasi Islam dengan stigma negatif. Dunia
memandang Islam dengan nuansa sinis, penuh kecurigaan dan penebar kematian.
Bahkan bila ada umat muslim hendak melancong atau study ke Negara-negara
tertentu, utamanya masalah perizinan, mengalami kesulitan hingga pelarangan
(baca:deportasi). Sebaliknya, konsepsi modernisasi dari Barat banyak yang
dianggap haram oleh para pemeluk Islam"
Label ‘Sarang
Teroris’ juga memiliki dampak politis terhadap Islam. Islam harus menerima pil
pahit terdiskreditkan oleh politik global. Pasalnya, lantaran label tersebut
Islam harus diam dan terisolasikan dari kancah percaturan politik global. Kondisi
ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, rekonsiliasi antara kedua belah pihak
mutlak perlu segera dilakukan.
Yang paling penting
keduanya harus menanggalkan egoisme masing-masing. Islam tidak boleh menuduh
Barat sebagai biang keladi. Pun sebaliknya, Barat jangan menuduh Islam sebagai
pemicu konflik.
Gagasan damai
dewasa ini mulai digagas oleh Mohamed al Zawahiri, saudara dari pemimpin Al
Qaeda, Ayman al Zawahiri. Ia mengajukan usulan untuk melakukan sebuah
kesepakatan damai antara Barat dan Islam. Dalam sebuah wawancara eksklusif
dengan CNN, sebagaimana dilansir Kompas.com,
Senin (10/9/2012), Mohamed al Zawahiri membeberkan proposalnya untuk pertama
kalinya. Ia mengatakan, dirinya tidak mewakili Al Qaeda, tetapi ia berada dalam
posisi unik untuk membantu mengakhiri kekerasan dan bahwa kedua belah pihak
harus membuat konsesi.
Muhammad Iqbal pernah mengatakan “saya melihat Islam di
Barat tetapi tidak melihat orang Islam di sana. Sebaliknya, saya melihat orang
Islam di sini (dunia Islam), tetapi tidak melihat Islam”. Tidak berhenti di situ, Iqbal dengan nada
heroik juga mengatakan, “Barat telah berhasil membangun ‘dunia’, tetapi gagal
membangun ‘akhirat’. Sedangkan Timur (baca dunia Islam), berhasil membangun
‘akhirat’ tetapi gagal membangun ‘dunia’.
Diagnosa Iqbal di
atas secara implisit seolah menegaskan bahwa Islam dan Barat harusnya memiliki
ikatan simbiosis mutualisme. Keduanya bisa belajar satu dengan yang lain. Barat
dengan semangat rasionalisme bisa mengajari Islam perihal teknologi. Islam
dengan spirit humanis-emansipatoris dapat pula dijadikan pelajaran bagi Barat
untuk memahami manusia secara utuh.
Islam mengajarkan
bahwa dalam menghadapi “Yang Lain” (the others) umat Islam harus memiliki
sikap aktif (bukan membeo) untuk belajar dari perbedaan yang ada pada pihak
lain, serta mengambil manfaat dari perbedaan itu.
Selain itu, keduanya
perlu juga menoleh pada wilayah sejarah.
Sejarah mengabarkan bahwa perkembangan peradaban Barat maupun Islam berada
dalam relasi-interaksi take and give (menerima dan member). Walaupun di
waktu yang sama pula bersembunyi ketegangan laten. Tak bisa terelakkan bahwa saluran
awal peradaban Barat-Islam yang terpenting adalah Islam-Andalusia (Spanyol).
Imperium Islam pertama di Eropa yang berdiri di Spanyol pada abad ke-8 itu
berhasil memajukan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga mengukuhkannya
sebagai kiblat peradaban.
Eropa yang saat itu
berada dalam jeratan zaman kegelapan, iri melihat perkembangan Islam-Spanyol.
Tetapi Eropa pun merasakan berkah perkembangan itu dengan mempelajari
karya-karya ilmuwan Islam. Amsal penting, di antaranya, adalah pemikiran rasionalisme
Ibn Rusyd atau Averroes (1120-1198 M) yang mendorong kebebasan berpikir dan
melepaskan diri dari belenggu taklid. Pemikiran tersebut memukau masyarakat
Eropa dan memiliki andil besar terjadinya gerakan renaisans pada abad ke-15.
(Musyafak, 2012)
Sudah saatnya dua belah pihak saling merangkul
bukan saling mengintimidasi. Terorisme murni tindak kriminal dan tidak ada
hubungannya dengan persoalan agama. Karena semua agama pasti mengajarkan
kebajikan pada umatnya. Keduanya harus bersepakat bersama-sama memerangi
terorisme (oknum teroris).
This entry was posted
on Jumat, Desember 13, 2013
at 1:40 AM
and is filed under
Keislaman
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.