undefined
undefined
Membumikan Pendidikan Multikultural
Dewasa ini dunia Islam Indonesia kembali
ternodai akibat dua kasus kekerasan. Pertama, kasus intoleransi terhadap
penganut Syiah yang terjadi di desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten
Sampang, Madura, Jawa Timur pada 26 Agustus lalu. Kedua, kasus (dugaan)
terorisme yang terjadi di Solo dan Depok. Keduanya dialamatkan pada agama
Islam. Walhasil, stigmatisasi pun kian melekat pada Islam. Label Islam sebagai
agama intoleran dan mengajarkan kekerasan pun semakin sulit ditanggalkan.
Melihat kedua kasus tersebut, saya
teringat dua tesis besar yang pernah menghebohkan dunia. Pertama, Tesis
Samuel P Huntington. Dalam bukunya The Clash of Civilizations and The
Remaking of The World Order, Huntington meramalkan tentang benturan antar
peradaban. Menurutnya, faktor agama memiliki andil besar dalam melahirkan
konflik peradaban di masa depan. Gagasan
ini sempat memicu perdebatan sengit di beberapa Negara.
Mungkin saat ini khalayak ramai tengah
mengapresiasi tesis Huntington tersebut. Pasalnya, tesisnya kini menjadi
kenyataan. Merebaknya kasus terorisme adalah bukti bahwa konflik dan kekerasan
yang berlatar belakang telah banyak menelan korban jiwa. Bahkan isu terorisme
merupakan isu global dan menjadi perhatian serius banyak pihak.
Kedua, Tesis
Francis Fukuyama. Dalam karya fenomenalnya The End of History and The last
Man, Fukuyama mengatakan di penghujung sejarah tidak ada lagi ruang
tersedia bagi pertarungan antar ideologi besar. Tesis Fukuyama ini menjadi
menarik ketika kita melihat pada aras lokal masyarakat Indonesia yang majemuk
dan seringkali lahir ketegangan-ketegangan yang bersifat kultural maupun
ideologis.
Pendidikan memiliki peran penting untuk
mengakhiri stigmatisasi Islam ini. Pendidikan adalah wahana paling ideal untuk
melakukan indoktrinasi nilai-nilai kebajikan (learning values) sekaligus
transfer ilmu pengetahuan (transformation of knowledge). Dalam hal ini,
pendidikan Islam seperti pesantren maupun madrasah mau tidak mau harus
menerapkan pendidikan multikultural. Tujuannya agar lahir generasi muslim yang
inklusif dan mampu bertindak sebagai gerbang komunistas muslim Indonesia yang
terbuka, jujur dan saling menghormati.
Penegasan Kembali
Pendidikan multikultural bukanlah wacana
baru di dunia pendidikan. Sejak merebaknya isu disintegrasi bangsa, wacana ini
telah ada. Sayangnya, selama ini hasilnya kurang maksimal, jika tidak boleh
dikatakan, nihil. Oleh karenanya, perlu pemahaman atau penegasan kembali wacana
ini agar mampu terealisasikan secara signifikan.
Pendidikan multikultural diorientasikan
untuk mengelola isu-isu yang sensitif agar tidak timbul konflik yang mengarah
pada disintegrasi bangsa. Pendidikan multikultural adalah pendidikan tentang
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan
multikultural sebagai upaya untuk melatih dan membangun karakter siswa agar
mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka. (Choirul
Mahfud, 2010)
Di kalangan umat Islam sendiri keragaman
tak bisa dipungkiri. Organisasi sosial keagamaan, partai politik, gerakan
keagamaan, mazhab dan budaya lokal tumbuh menjamur di tubuh agama Islam. Adanya
keberagaman tersebut harusnya mendorong lahirnya masyarakat yang demokratis.
Masing-masing mendapat hak yang sama dengan segala aspek sosial, politik dan
budaya. Inilah salah satu spirit pendidikan multikultural dalam masyarakat
majemuk.
Di tengah derasnya arus globalisasi, upaya
untuk membangun masyarakat demokratis yang multikultural syarat utamanya adalah
perubahan paradigma sistem pendidikan nasional. Pendidikan harus
menitikberatkan pada revitalisasi kebudayaan nasional maupun lokal. Artinya,
pendidikan harus mampu mengkonstruk kembali sistem pendidikan nasional untuk
kelestarian khazanah budaya bangsa.
Pendidikan multikultural tidak hanya
sebagai prinsip dalam membangkitkan nasionalisme baru, tetapi juga sebagai
prinsip dalam mengelola tata kehidupan masyarakat Indonesia. Tanpa spirit
multikulturalisme, sulit bahkan tidak mungkin dapat membangun suatu kesatuan
masyarakat Indonesia yang multikultural. Semboyan Bhineka Tunggal Ika harus
benar-benar termanifestasi dalam konsep multikulturalisme, lebih-lebih dalam
percaturan global.
Pengalaman sistem pendidikan nasional
beberapa tahun terakhir amat jauh dari sempurna. Terutama pada wilayah
pelestarian budaya bangsa, keragaman agama dan etnis. Budaya dominan seringkali
muncul sebagai aktor utama dalam sistem pendidikan dan pembuatan keputusan.
Sehingga budaya minoritas terpaksa harus teraleniasi bahkan tersingkirkan.
Setiap individu dituntut untuk mengenal
dan memahami keragaman budaya bangsa yang multikultural ini. Budaya baru yang
lahir akibat arus globalisasi, tidak jarang membuat seseorang mengalami krisis
identitas. Melalui pendidikan multikultural masing-masing individu akan
mampertegas identitasnya sebagai salah satu entitas dari bangsa Indonesia bukan
yang lain.
Selain itu, hal-hal mendasar yang perlu
diperhatikan dalam upaya menciptakan pendidikan multikultural adalah konsep
yang kuat, pertimbangan yang matang, dan landasan filosofis yang kuat pada akar
budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks pendidikan Islam, nilai-nilai primordial
ajaran agama Islam juga harus dijadikan pedoman jika pendidikan multikultural
diaplikasikan pada lembaga pendidikan agama Islam.
Sinergitas
Agar tercapai kesuksesan pendidikan
multikultural aspek-aspek pembelajaran harus bersinergi. Mulai dari kurikulum,
model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakulikuler, kebijakan
sekolah dan peran guru harus didesain multikultural. Dus, isi,
pendekatan dan evaluasi kurikulum harus dikontruksi agar bermuatan nilai apresiatif
terhadap perbedaan serta tidak diskriminatif.
Hal yang tidak kalah penting dalam
konteks globalisasi adalah spirit untuk revitalisasi kebudayaan bangsa
Indonesia yang majemuk. Di samping memperoleh materi di kelas tentang wacana
global, siswa juga harus langsung dihadapkan pada persoalan empirik-kultural
yang ada dalam masyarakat. Sehingga konsep multikulturalisme tidak hanya terekam
dalam benak dan pikiran siswa, tetapi juga terejawentahkan dalam perbuatan,
perilaku, sikapnya terhadap orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Di sinilah arti penting pendidikan
multikultural dalam masyarakat yang plural. Di sini pulalah akan lahir generasi
muslim yang memahami substansi islam sebagai agama rahmatal lil’alamin. Bukan
agama perang sebagai yang alamatkan dunia global kepada Islam saat ini.
Pun akan lahir pula generasi yang cinta
tanah air (nasionalis) berjiwa agamis. Bukan generasi memble yang mudah
mengikuti hasutan globalisasi. Seperti adagium Jawa kuno yang mengatakan Anglaras
Ilining Banyu, Angeli Ananging Ora Keli. Semoga!!!
*Penulis adalah Abdullah Hanif, Pemerhati
Pendidikan Islam
This entry was posted
on Jumat, Desember 13, 2013
at 1:50 AM
and is filed under
filsafat
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.