undefined
undefined
Dari Angkringan Untuk Indonesia
Berjalan-jalan di kota Yogyakarta pasti kurang afdal
jika tidak mampir di Angkringan.
Yah, itulah predikat warung sederhana warga Jogja yang mungkin tidak akan
pernah ditemui di daerah lain. Warung bersahaja nan jauh dari nuansa kapitalis.
Nasi kucing, sate keong, telur puyuh, dan gorengan adalah menu utamanya.
Secara etimologis, Angkringan berasal dari kata
‘angkring’ yang berarti duduk santai. Angkringan identik dengan gerobak dorong
dengan nasi kucing yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan. Gerobak angkringan
hanya dibalut dengan terpal dan kapasitasnya tidak lebih dari delapan orang. Beroperasi
mulai sore hari, ia mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir,
dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan.
Sejarah kemunculan angkringan berawal pada tahun
1950-an. Ialah Mbah Paimo yang menjadi pionir angkringan. Awalnya Mbah Paimo
hanya ingin menumbuhkan ekonomi mikro dengan membuka warung sederhana. Karena
memang di desanya Cawas, Klaten, memiliki kondisi geografis yang tidak memadai.
Ia pun hijrah ke Jogja dan mendirikan warung angkringan. Hingga kini angkringan
Mbah Paimo masih bisa dijumpai di dekat Stasiun tugu Jogja.
Kesahajaan
“Huft”,
sungguh sangat romantis. Kesan ini muncul tatkala melihat fenomena angkringan.
Sambil menyantap nasi kucing dibungkus daun pisang, pengungjung ngobrol
ngalor-ngidul (berbicara berbagai macam hal). Politik, asmara, ekonomi
hingga ngrasani pejabat turut meramaikan angkringan tiap waktunya.
Angkringan adalah ruang publik bebas dari nuansa
politis. Sosiolog Jerman, Jurgen Habermas (1989) mengatakan, ruang publik
adalah ruang yang bebas dari penindasan, tekanan, dominasi-dominasi, suatu
ruang dimana setiap individu memiliki derajat yang sama, dan berbagai diskusi
yang bernuansa subversif pun (mengkritik/mengecam pemerintahan) dapat
berlangsung di dalamnya.
Angkringan memang terkenal sebagai tempat yang
egaliter. Karena pembeli yang datang bervariasi tanpa membeda-bedakan strata
sosial atau SARA. Harganya yang murah dan tempatnya yang santai membuat
angkringan sangat populer di tengah kota sebagai tempat persinggahan untuk
mengusir lapar atau sekedar melepas lelah.
Asyiknya obrolan di angkringan ditemani
remang-remang lampu senthir tidak jarang membuat pengunjung lupa waktu. Malam
pun tak terasa semakin larut dan pagi mulai menyambut. Penat dan lelah dengan
aktifitas sehari pun seolah dihapus oleh kesahajaan angkringan. Bersiap
menyambut hari esok dengan semangat baru. Saking cintanya masyarakat jogja
dengan angkringan, muncul celotehan “makan nggak makan sing penting ngangkring”.
Falsafah
Ketika kasus Anggi dan Nazaruddin ramai disoroti
media, mengemuka obrolan unik di angkringan. “Andai Anggi dan Nazaruddin mau
wedangan di angkringan, bisa jadi ia tidak akan terpeleset dalam hidupnya.
Mereka pun barangkali mampu lolos dari godaan hasrat nafsu yang mulai liar”.
Inilah sekelumit obrolan santai warga Jogja melihat kasus korupsi kedua
terpidana di atas.
Obrolan di atas memang seolah nyeleneh, tidak
ada korelasi antara korupsi dengan angkringan. Tapi tunggu dulu, angkringan bukan
sekedar warung biasa. Angkringan adalah tempat yang juga mengajarkan makna
hidup, khususnya kesederhanaan. Maka tidak sedikit kearifan lokal yang harus
dipetik, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kasus korupsi tak lain didasari oleh motif kerakusan
dunia. Anggi dan Nazaruddin adalah dua diantara para pejabat yang memiliki
posisi strategis dengan gaji yang tidak sedikit pula. Hasrat nafsu dunia
menjadikan keduanya hedonis dan rakus. Sehingga gaji yang mereka terima
dianggap masih kurang.
Angkringan dengan segala aksesorisnya mengajarkan
kita untuk hidup sederhana dan egaliter. Pakualaman IV mengajarkan “Cegah
Dhahar lan Guling”. Kalimat bijak ini berarti mengurAnggi makan dan tidur.
Dalam falsafah orang Jawa, makan dan tidur adalah representasi kenikmatan
duniawi. Tatkala mengurAnggi kenikmatan duniawi, sebenarnya seseorang sedang
mengontrol hasratnya. Ia berupaya menjauh dari godaan duniawi, entah itu mobil
mewah atau rumah mewah.
Seseorang berhasil menghindari godaan duniawi
dimaksud bilamana hidup samadya (sewajarnya). Batasan sewajarnya ini jika
melihat sesuatu atas fungsinya, bukan citranya. Maka, dari ajaran ini Anggi dan
Nazaruddin tak berhasil mengendalikan hasratnya sehingga hidup tak lagi
samadya. Keduanya bergaya hidup glamour dan berlebihan.
Falsafah angkringan selayaknya menjadi cerminan bagi
kalangan profesional. Jika hasrat menggoda, apalagi sudah tidak bisa
dikendalikan, indikasi bakal mengkhawatirkan keprofesionalannya. Setidaknya
etika profesi yang seharus dijunjung tinggi bukan malah dilecehkan.
Malinda dan Nazaruddin merupakan pelajaran bagi
kalangan profesional, sekaligus mengingatkan apa salahnya jika menengok kembali
kearifan lokal (local wisdom) karena di sana banyak nilai hidup yang
bisa dipetik. Belajarlah dari angkringan tentang; kegunaan, kesederhanaan,
samadya, hingga kesetaraan. (*)
*Penulis adalah
Abdullah Hanif, Pegiat pada Duta Institute
This entry was posted
on Jumat, Desember 13, 2013
at 1:52 AM
and is filed under
Sastra
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.