Jalur Kapitalisme Pendidikan  

Posted by MUSLIH SUMANTRI in

OLEH: NURDIANSAH D.W.*
akhir bulan Mei 2005 negara-negara anggota WTO akan menandatangani General Agreement on Trade inServices (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Dalam tipologi yang digunakan oleh para ekonom kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi dalam 3 sektor. Sektor primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services),
keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication
services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi, WTO menetapkan pendidikan
sebagai salah satu industri sector tersier, karena kegiatan pokoknya adalah
mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya ketrampilan
menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya ketrampilan.

Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No, 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali “jasa non-komersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya”. Sebagai negara yang memiliki 210 juta penduduk yang tingkat partisipasi
pendidikan tinggi hanya 14 persen dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun, Indonesia
ternyata menjadi incaran negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatihan, Karena
perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, secara umum mutu
pendidikan nasional kita, mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, jauh
tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut sering menjadi alasan
untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri keIndonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara
berkembang, intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan.
Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in
Services (GATS). Hingga saat ini 6 negara telah meminta Indonesia untuk membuka sector jasa
pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru.
Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat,
dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia membuka pintu
untuk pendidikan kedokteran Cina. Jelas sekali bukan motif humanitarian yang
mendorong para provider pendidikan tinggi dari 6 negara tersebut untuk membangun
pendidikan tinggi Indonesia. Motif for-profit mungkin adalah pendorong utamanya
Perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni
mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan
budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati
diri bangsa (van Glinken, 2004). Karena itu, setiap upaya untuk menjadikan pendidikan
dan pelatihan sebagai komoditi yang tata perdagangannya diatur oleh lembaga
internasional bukan oleh otoritas suatu negara, memang perlu disikapi dengan semangat
nasionalisme yang tinggi serta dengan kritis oleh masyarakat negara berkambang

Dari alat hegemoni sampai neoliberalisme
Sejak zaman orde baru hingga sekarang dipimpin oleh susilo bambang yudoyono pendidikan hanya dijadikan alat hegemoni bagi penguasa bahkan sekarang di jadikan alat unuk membesarkan neoliberalisme. Dalam massa orde baru dulu yang masih saya ingat betul adalah pengamalan p4 ( pedoman penghayatan pengamalan pancasila ) yang harus di hafal oleh seluruh warga pendidikan yang membuat konstruk berfikir pendidikan terikat secara hegomik. Indokrinasi ini juga di kecokan bagi siaa saja yang menjadi eserta didik dengan tafsir tunggal kekuasaan menggunakan pancasila sebagai alat legitimasi. Pendidikan model orde baru yang doktriner seerti disebutkan dengan mengucapkan secara berulang-ulang burir-butir P4., sebelum murid memulai pelajaran. Model pendidikan semacam itu tak lepas dari model militerisme sedangkan militer zaman orde baru bukan militer yang membantu rakyat tetapi malah mengengkang demokrasi rakyat bahkan kejam dan pembunuh
Sedangkan pada masa sekarang lebih parah dimana pendidikan tidak lagi sekedar alat hegomik bahkan menjadi kepanjangan atau alat legitmasi bagi neoliberalisme.bayangkan jika kebanyakan sarjana berfungsi untuk memperkaya pemilik modal. Pernah di temukan suatu kasus seorang sarjana psikologi sebuah kampus begitu bangga dengan penelitiannya sebuah perusahaan perdagangan yang menjual produk fashion. Dia begitu bangga dengan kemampuannya membaca pikiran masyarakat dalam kaitannya dengan bagaimana tren model baju yang akan dipakai. Bagaimana dia memahami manusia tak lebih sebagai sasaran produk. Hal ini tak lepas dari pendidikan ala neoliberalisme. Masih banyak contoh kasus yang lain dimana pikiran produk-produk pendidikan hanyalah bagaimana mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.dan kini kapitalisme benar-benar menguasai pendidikan dengan pengambilalihan dan mereka bukan hanya melakukan intervensi akan tetapi merubahnya menjadi lembaga yang memperjualbelikan jasa proses pembelajaran, materi pengetahuan sampai sertivikat. Proyek privatisasi kampus adalah keinginan dari para pemilik modal yang dijalankan dengan merubah status kampus menjadi BHP ( badan hukum perusahaan ). Berbagai produk hukum ( regulasi) sudah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai alat kekuasaan dan melindungi dan melegalkan BHP. Misalnya PP No 60/1999 tentang perguruan tinggi ; PP No 61/1999 tentang perguruan tinggi tentang erguruan tinggi sebagai BHMN ; SK dirjen dikti No. 26/2002 tentang pelarangan ormas atau aktivitas politik praktis di kampus ; UU SISDIKNAS No. 20/2003 dan terakhir adalah RUU BHP. Yang paling menyakitkan adalah di targetkan Indonesia akan mem BHP kan sekitar 81 perguruan tinggi negeri se Indonesia dan minimal 50 % untuk tahun 2009.

Nihilisme pendidikan di indonesia
Pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia malah justru berdampak sebaliknya. Proses dehumanisasi pendidikan malah semakin menjadi-jadi. Pola kesadaran masyarakat yang masih menggunakan nalar magis dalam setiap prakteknya tak kunjung hilang dengan adanya pendidikan yang ada malah proses pendidikan yang ada semakin memandulkan nalar kritis dari peserta didik, pembuatan kurikulum nyatanya adalah bentuk alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan tanpa menyentuh aspek dalam dunia nyata. Kurikulum yang ada hanyalah untuk mencetak generasi-genarasi berwatak kapitalis. Dari mulai kurikulum 1994, CBSA, KBK sampai pada saat sekarang KTSP nyatanya tak berdampak apa-apa terhadap kemajuan pendidikan kita. Berbagai system yang ada justru membelenggu narar kritis peserta didik. System tersebut menyebabkan peserta didik menjadi akedemi yang ansik karena banyaknya beban tugas yang mereka pikul di lingkungan pendidikan menyebabkan mereka lupa bahkan tak sempat memikirkan lagi keadaan social yang berada di lingkungan mereka. Parahnya dunia kampus yang seharusnya merupakan dunia yang membebaskan mahasiswanya untuk berkreasi dan mengembangkan ilmunya malah terlarut ada dunia akademik kampus dengan berbagai system yang membelenggu. Para mahasiwa matematika misalnya tidak akan sempat mengurusi keadaan social disekitar mereka karena angka dan rumus-rumus matematika sudah membuat otak mereka tumpul. Kenapa di saat pendidikan kita sudah dikatakan maju malah kita tidak mampu menghasilkan intelektual-intelektual organic? Padahal saat kita di kungkung oleh feodalisme belanda pendidikan kita mampu menghaslkan intelektual berkualitas macam soekarno, hatta, syahrir dan tan malaka. Apa yang salah sebenarnya?? Karena sebenarnya pendidikan kita adalah nihil (kosong). Pendidikan hanya mengacu pada pendidikan barat dan hanya di gunakan untuk mencetak budak-budak kapitalisme.

Paradigma Pendidikan Kritis

Pendidikan merupakan pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan prosesnya harus berjalan dengan kebijakan “Learning Process Skill” daripada “Learning Concept”.Pada pendekatan proses akan ditandai dengan kurikukulum yang student centered, bukan teachercentered. Peran guru lebih sebagai fasilitator, mediator, dinamisator, organisator, dan katalisator yangbekerja keras untuk memberlakukan “dialog” sebagai ruh yang mendasari hidupnya prosespendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap “anti dialog” di dalamnya.3 Proses pendidikanideal di atas memungkinkan munculnya sikap kritis (priseconscience) pada peserta didik, di mana persepsi terhadap siswa tidak lagi ia pandang sebagai “cawan” (yang pasif dan dituangi air ke dalamnya), tetapi sebagai subjek yang belajar dan bersama-sama dengan subjek yang mendidik untuk selalu berada dalam derap pencarian makna sesuatu kebenaran. Paradigma pendidikan semacam ini sering disebut sebagai pendidikan “produksi kesadaran kritis”. Lebih lanjut, hasil dari proses pendidikan adalah kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan lebih merupakan pembebasan manusia. Pendidikan merupakan sarana memproduksi kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan manusia.4 Pendidikan kritis merupakan media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan merupakan bagian dari proses transformasi sosial, maka pendidikan kritis merupakanproses perjuangan polotik. Dalam perspektif kritis, proses pendidikan merupakan proses refleksi dalam aksi (praksis) terhadap seluruh tatanan dan relasi sosial dari sistem dan struktur sosial, dan bagaimana peranya dan cara kerjanya dalam mengembangkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial. Oleh karena tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur yang diskriminatif terhadap kaum tertindas, kemudian bagaimana melakukan proses dekonstruksi dan aksi praktis maupun strategis menuju sistem sosial yang sensitif dan non-diskriminatif. Melihat dasar filosofis dari pendidikan kritis di atas, maka selanjutnya

ada 3 (tiga) ciri pokok
pendidikan kritis.
1. Belajar dari realitas atau pengalaman; yang dipelajari bukan ajaran (teori, pendapat,
kesimpulan, wejangan, nasihat, dan seterusnya) dari seseorang, tetapi keadaan nyata
masyarakat atau pengalaman seseorang atau sekelompok orang yang terlibat di atas keadaan
nyata tersebut. Akibatnya, tidak ada otoritas pengetahuan seorang yang lebih tinggi dari
lainnya. Keabsahan pengetahuan seorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas
tindakan/pengalaman langsung, bukan pada retorika atau kepintaran omong-nya.
2. Tidak menggurui; karena itu tidak ada guru dan tidak ada murid yang digurui, semua orang
yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah guru sekaligus murid pada saat yang
bersamaan.
3. Dialogis; proses berlangsungnya belajar mengajar bersifat komunikasi dalam berbagai
bentuk kegiatan (diskusi, kelompok bermain, dan sebagainya), dan media (peraga, grafik,
audio-visual, dan sebagainya) yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara
semua orang yang terlibat dalam proses pelatihan tersebut.






Pendidikan revolusioner
Bangsa yang besar adalah bangsa yang memerhatikan betul proses pendidikannya, karena revolusi tak akan terjadi tanpa adanya kaum intelektual yang menjadi roda penggerak revolusi.
Dan proses pendidikan revolusionerlah yang mampu menciptakan para intelektual organic yang mampu merubah keadaan sosialnya. Karenanya pendidikan harusnya di arahkan atau mengacu pada realita social yang ada dengan bahasa lain harus adanya kesesuaian antara teori dan praktek. Pendidikan yang pertama dilakukan adalah melakukan penyadaran dan mendorong manusia mengenali dan melawan hambatan-hambatan material yang ada, lalu menciptakan tatanan social yang seharusnya sesuai dengan hakikat mannusia yaitu tatanan dimana kontradiksi berupa hubungan produksi yang eksloitatif ( kapitalisme ) digantikan dengan hubungan produksi yang setara ( sosialisme ). Pendidikan harus diberikan secara masal karena dengan adanya masalisasi pendidikan upaya penyadaran, pengetahuan dan ketrampilan yang meluas dimungkinkan terjadi. Selain menciptakan pendidikan yang setara harusnya pendidikan juga harus memertahankan sosialisme sebagai jalan pembebasan manusia dengan demikian pendidikan harulah berjalan secara demokratis, dan mencitakan kondisi anak-anak didik yang benar-benar bebas , rasional, aktif dan indeenden. Pendidikan harusnya melayani kebutuhan manusia. Sekolah-sekolah dibuat untuk menciptakan manusia- manusia yang tidak teraliansi ( terasingkan ), mencetak generasi-generasi roduktif sekaligus untuk menjadikan proses penyadaran masyarakat dari hubungan penindas dan mendorong kearah kerja-keraja produktif yang konkret untuk melawan kontradiksi-kontradiksi yang diciptakan oleh penindas. Oleh karena itu pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat sisal yang ada. Dan menjadi kewajiban dari pendidikan menghasilkan para intelektual- intelektual yang nantinya mampu merubah kondisi masyarakat sosialnya dan Negara serta bangsanya. Dulu dengan system yang otoriter ala belanda pendidikan kita mampu mencitakan intelektual- intelektual luar biasa macam soekarno, hatta syahrir dan tan malaka seharusnya dengan pendidikan yang sudah demikian maju akan tercipta inteltual macam mereka.





Paradigm pendidikan
Paradigm pendidikan konservatif
Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang kalsik atau awal paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna di balik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dalam mencairkan konflik dan kontradiksi.

Paradigma pendidikan liberal
Golongan kedua yakni kaum Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah dimasyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Denganl keyakinan seperti itu. tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Sungguh pun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi "kosmetik". Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang Iebih efisien dan partisipatif,' seperti dinamika kelompok (group dynamics), "learning by doing", "experimental learning", ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan sebagainya. Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represipolitik yang ada dalam masyarakat. Kaum Liberal dan Konservatif sama-sama berpendirian bahwa pendidikan ialah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender di masyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni "structural functionalism" justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai¬-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non¬-formal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang tnenekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi problem dan upaya modernisasi dan pembangunan demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme. Sejarah ide politik liberalisme berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen-¬komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat barat tentang model manusia universal yakni model manusla Amerika dan Eropa. Model tipe ideal mereka adalah manusia "rationalis liberal", seperti pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektualitas; kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal; ketiga, adalah "individualis" yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom (Bay, 1988). Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena kepentingan-kepentingan anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid. Pembuatan ranking untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy" seperti dalam pelatihan manajemen kewiraswastaan dan manajemen lainnya. Achievement Motivation Training (AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah contoh terbaik pendekatan liberal. Mclelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya "N Ach". Oleh karena syarat pembangunan bagi rakyat Dunia Ketiga adalah perlu virus “N Ach” yang membuat individu agresif dan rasional (McClelland, 1961). Berbagai pelatiha pegembangan masyarakat (Community Development) seperti usaha bersama, intensifikasi perlanian dan lain sebagainya, umunmya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
Positivisme juga berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, “fixed law” atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap “appropriate” semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan nletode ilmiah yakni objektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode "scien¬tific". Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan va¬lues dalam rangka menuju pada pemahaman objektif atas realitas sosial. Habermas, seorang penganut Teori Kritik melakukan kritik terhadap positivisme dengan menjelaskan berbagai kategori pengetahuan sebagai berikut. Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai "instrumental knowledge" atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi, mema¬nipulasi dan eksploitasi terhadap objeknya. Kedua adalah "hermeneutic know¬ledge" atau "interpretative knowledge", dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga adalah "critical knowledge" atau “emancipatory knuw¬ledge” yakni suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistik.

Paradigma pendidikan kritis
Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada, Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal di mana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyarakat.
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap "the dominant ideology" kearah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan 1ebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah "memanusiakan" kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.

*Adalah mantan ketuarayon PMII Fak. Sintek periode 2009-2010


This entry was posted on Minggu, Februari 20, 2011 at 6:02 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Posting Komentar