Manifesto Intelektual Organik  

Posted by MUSLIH SUMANTRI in

Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik
“Jalan Lain”, demikian Mansour Fakih menamakan buku ini. Tentunya dengan
harapan bahwa buku ini akan menjadi alternatif, bahkan mungkin rekomendasi bagi para
intelektual Indonesia. Beliau namakan para intelektual ini sebagai ‘intelektual organik’.
Sebuah sebutan yang mungkin terdengar asing di telinga kita. Intelektual organik,
sebagaimana beliau namakan, adalah sebuah komunitas cendekia yang santun, radikal dan
kritis. Demikian pula gagasan-gagasan dalam buku ini hadir sebagai hasil dari perenungan
dan diskusi yang panjang mengenai keadaan sosial masyarakat, bangsa negara dan bahkan
tatanan dunia sekalipun. “Sebagai golongan intelektual, tugas kita memang bukan sekedar
‘memberi makna’ terhadap realitas sosial globalisasi, menguatnya neoliberalisme saat ini,
dan meratapinya.

Tugas kita sebagai intelektual adalah ikut menciptakan sejarah dengan
membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna masa depan
kita sendiri.” demikian Mansour Fakih, dalam Prolog buku ini. Buku ini sebenarnya sebuah kumpulan tulisan dengan beragam tema. Oleh karena itu jangkauan buku ini sangat luas tentang ilmu-ilmu sosial. Tulisan-tulisan yang demikian berbobot dan merupakan hasil kajian pustaka yang mendalam. Buku ini dibagi dalam 3 bagian besar yang terdiri dari beberapa bab. Bagian ke-1, Seputar Teori Perubahan Sosial; bagian ke-2, Pemikiran Tokoh; bagian ke-3, Globalisasi dan Dampaknya. Dalam bagian ke-1 diuraikan secara panjang lebar tentang Teori Kelas yang menurutnya banyak disalahpahami orang. Hal inilah yang kemudian menjadikan
kesalahpahaman yang panjang terhadap Marxisme. Marxisme kemudian menjadi suatu
aliran teori-teori ilmu pengetahuan, kebijakan politik, gerakan sosial dan budaya serta
praktek politik. Padahal sebenarnya semangat yang mendasari Marx dalam analisisnya
berangkat dari pandangan moral keadilan dan cita-cita untuk perubahan sosial menuju
masyarakat yang adil. Marx, sebagai individu, coba dipetakan sebagai seorang filosof sosial
dan sebagai pemikir keadilan sosial. Dipaparkan juga bagaimana teori kelas berguna untuk
menjelaskan eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh kapitalis. Mengenai persoalan kelas
sosial dalam masyarakat, Fakih mencoba membandingkan Marx dengan Althusser.
Konsep kelas yang diyakini oleh pengikut Marxis, lebih pada wealth atau kekayaan. Jadi,
jika seseorang memiliki kekayan yang amat banyak, maka dia disebut kelas elit. Pandangan
seperti inilah yang menyebabkan diciptakannya masyarakat tanpa kelas yang sama rata
sama rasa, sebagai mana pernah dipraktekkan di Uni Soviet. Sementara menurut
Althusser, persoalan kelas ini adalah persoalan ketidakadilan yang berupa appropriation of
surplus value yang arti harfiahnya adalah pencurian nilai lebih. Jadi dalam pengertian ini
adalah bagaimana menciptakan masyarakat tanpa ekploitasi. Hal ini melibatkan banyak
sekali unsur dalam masyarakat dan membutuhkan tata ekonomi yang baru agar kekayaan
itu dapar terdistribusi secara adil kepada rakyat. Dalam penutup bab ini Fakih menegaskan
bahwa Marxisme bukan agama, melainkan sebagai salah satu aliran pemikiran sosial dalam
rangka mencari sistem sosial yang adil. Masyarakat tanpa kelas bukanlah masyarakat yang
sama rata sama rasa, melainkan sebuah masyarakat tanpa ekploitasi, pencurian nilai lebih.
Sehingga nilai lebih ini tidak hanya dinikmati oleh kapitalis saja, tetapi didistribusikan
kepada semua sektor masyarakat melalui pajak ke negara, bunga bank, gaji para manajer,
dan lainnya. Untuk itu diperlukan, tidak saja perubahan hubungan mode of production saja,
tetapi transformasi sosial yang lebih luas lagi terhadap sistem sosial yang tergantung pada
nilai lebih tersebut. Masih dalam bagian ke-1, Fakih juga mengulas tentang ‘Agenda Gerakan Sosial: Reformasi atau Transformasi’. Fakih mencoba melakukan dekonstruksi terhadap wacana
yang dominan saat ini, reformasi. Landasan paradigmatik dan teoretik apa yang melatari
paham reformasi ini. Menurut Fakih, analisis tentang perubahan sosial yang muncul,
kebanyakan diwarnai oleh dua aliran teori sosial yang sesungguhnya saling bertentangan—
antara ‘teori modernisasi’ yang berakar pada ‘paradigma sosial positivisme’, dan paham
‘teori sosial kritik’ atau yang juga dikenal dengan ‘ilmu sosial emansipatoris’ seperti teori
kritis mazhab Frankfrut, neo Marxisme, juga paham posmodernisme. Panjang lebar Fakih
uraikan tentang perubahan sosial yang tengah dilakukan oleh kaum liberal. Perubahan
sosial yang tengah terjadi saat ini sedang diuji apakah mampu mentransformasikan relasi
sosial politik untuk menjadi relasi yang lebih adil yang berwatak emansipatoris ataukah
lebih berupa reformasi sosial. Seharusnyalah perubahan sosial yang terjadi memiliki
perspekrif transformatif, dan memiliki jangkauan yang luas baik dari segi metodologi,
agenda maupun motivasi. Perubahan sosial yang berperspektif transformatif juga
menyangkut hal-hal untuk memenuhi kebutuhan praktis dan strategis golongan miskin.
Hanya dengan cara yang luas itulah perubahan sosial dapat menyumbangkan trasnformasi
sosial ke arah yang lebih adil. Tentang ‘Pengetahuan yang Memberdayakan dan Membebaskan’, Fakih mengawali tulisannya dengan pertanyaan mendasar. Apa hakikat ilmu sosial dan penelitian sosial, dan atas kepentingan siapa dan dalam rangka apa sesungguhnya ilmu sosial dan penelitian sosial dilakukan? Pertanyaan ini membawa pada pertanyaan lanjutan, kepada siapa hendaknya pengetahuan sosial dan penelitian sosial diabdikan? Secara umum, pandangan ilmu sosial saat ini didominasi oleh paham objektivisme dan pemikiran yang bersifat regulatori. Pada titik ini para ilmuwan sosial memiliki kekuasan yang luar biasa besar, bahkan mengalahkan peran yang dimiliki oleh para pemimpin adat dan pemimpin agama. Secara panjang lebar Fakih menguraikan bagaimana seharusnya metode riset partisipatori digunakan sebagai praktek pembebasan. Tugas utama penelitian adalah menciptakan ruang masyarakat untuk mentransformasikan gerakannya. Bagaimana penelitian ini mampu memfasilitasi gerakan masyarakat untuk menyelenggarakan pengkajian kritis yang
mempertanyakan asumsi dasar, ideologi dan paradigma mereka dan implikasinya secara
teoretik dan praktik terhadap perubahan sosial. Mengenai paradigma perubahan sosial,
Fakih mengutip pemikiran Habermas yang membagi paradigma ilmu sosial dalam tiga
jenis. Pertama, ilmu sosial sebagai instrumental knowledge, pengetahuan lebih dimaksudkan
untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Ilmu sosial diperlakukan sebagai ilmu
alam, yang menganut positivisme, mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka
menuju pada pemahaman objektif atas realitas sosial. Kedua, hermeneutic knowledge, ilmu
sosial yang dimaksudkan untuk memahami realitas sosial secara sungguh-sungguh, jadi
lebih kepada kajian filosofis. Ketiga, critical/emancipatory knowledge, ilmu sosial dipahami
sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan. Paradigma ini
memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik dan menghindari cara berfikir
deterministik dan reduksionistik. Dalam hal ini Fakih lebih sepakat dengan paradigma
kritis, sebagaimana dalam tulisannya,”Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap
positivisme menyadarkan kita akan perlunya merenungkan tentang moralitas ilmu dan
penelitian sosial.” Ilmu sosial dengan demikian harus memiliki nilai moral dan
memungkinkan setiap orang untuk berpartisipasi dan memberikan kontribusi untuk
kemajuan bersama. Tentang ‘Fasisme’, Fakih ingin menyadarkan kita bahwa fasisme sesungguhnya mungkin terjadi begitu dekat dengan diri kita, tanpa kita sadari. Dengan mengulas sejarah fasisme yang terjadi di Italia, Jepang dan Jerman, Fakih menengarai kemungkinan besar
fasisme telah dipraktikkan di Indonesia. Mengingat telah terpenuhinya persyaratan
objektif munculnya fasisme. Bagaimana partai politik mempraktikkan semangat dan
perilaku militeristik. Bagaimana pemerintah menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi.
Dengan penggunaan teror, represi, penjinakan ideologi serta hegemoni. Bahkan para
demonstran yang nota bene memperjuangkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia,
juga telah melakukan tindak kekerasan. Bahkan penerapan amar ma’ruf nahi munkar—dalam istilah Islam—telah menggunakan cara-cara yang tidak humanis dengan melanggar hak hak asasi manusia, hak-hak ekonomi, hak politik, hak reproduksi dan hak perempuan.
Juga terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, sebagai cara yang digunakan untuk
menciptakan rumah tangga yang “sejahtera”. Dengan demikian fasisme sesungguhnya
sudah merasuki relung berpikir kita tanpa disadari. Fakih berharap agar tulisan ini dapat
menyadarkan kita akan keadaan yang tengah terjadi dan mudah-mudahan dapat
menghentikan praktik kekerasan yang selama ini dilakukan. Pada bagian ke-2, Pemikiran Tokoh, Fakih mengulas tentang pokok pikiran para tokoh yang menjadi motor terjadinya perubahan sosial. Tentang Paulo Freire—tokoh pendidikan dari Brazil era 50-an—Fakih menganggap apa yang digagas oleh Freire tidak dapat diaplikasikan secara praktis di dunia pendidikan oleh para pengikutnya. Banyak tema pendidikan Freire yang secara metodologis tidak dapat diterjemahkan ke dalam proses dan teknis belajar mengajar. Yang terjadi adalah pemahaman secara teoretik terhadap ajaranFreire tentang ‘pendidikan adalah proses pembebasan dan pendidikan adalah proses membangkitkan kesadaran kritis’. Sebenarnya Freire sendiri telah mewujudkan pemikirannya dalam sebuah tindak konkret ketika melakukan kegiatan pemberantasan buta huruf untuk petani Brazil. Dalam bukunya, Pedagogy of the Opressed, Freire membongkar watak pasif dunia pendidikan yang berwatak tradisional. Freire mengejek sistem dan praktik pendidikan yang melanggengkan “relasi penindasan” yang disebutnya pendidikan “gaya bank”. Pendidikan “gaya bank” dimana guru bertindak sebagai penabung informasi, sementara murid dijejali informasi untuk disimpan. Untuk itu Freire mengajukan sebuah konsep tandingan dengan pedagogy of liberation yakni proses pendidikan ‘hadap masalah’ yang justru mendorong dialog antara murid dan guru. Freire percaya bahwa tugas pendidikan adalah memproduksi kesadaran kritis untuk suatu proses pembebasan. Pendidikan yang tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial tempat pendidikan itu diselenggarakan. Dalam hal ini, untuk mendorong pendidikan yang lebih peka terhadap ketidakadilan sosial, tugas
pendidikan adalah melakukan refleksi kritis. Refleksi terhadap sistem dan ideologi
dominan yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk
memikirkan sistem alternatif ke arah teransformasi sosial menuju masyarakat yang adil.
Terkait dengan itu semua, pendekatan Freire terhadap pendidikan dapat dijadikan ilham
bagi para pendidik kita. Fakih berharap lewat pendidikan gaya Freire, kaum tertindas,
seperti kaum buruh, kaum miskin kota, masyarakat adat, dan kaum tertindas lainnya
didorong untuk membebaskan diri dari segala penindasan. Dengan begitu mudahmudahan
akan tercipta masa depan yang lebih baik, yang menjanjikan keberpihakan pada
kaum tertindas.
Bagian ke-2 ini, sebagaimana judulnya “Pemikiran Para Tokoh”, berisi ulasan
tentang tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam proses perubahan sosial. Seperti yang telah
dipaparkan di atas tentang Paulo Freire, Fakih juga mengulas pemikiran Antonio Gramsci.
Gramsci adalah seorang aktivis perubahan sosial dari Ales, Sardinia, yang dalam perjalanan
hidupnya banyak melakukan kritik terhadap praktik komunisme di Uni Soviet. Pemikiran
Gramsci juga merupakan kritik terhadap kecenderungan positivistik dan mekanistik para
pengikut Marxisme ortodoks, terutama teori mereka mengenai perubahan sosial dan
revolusi. Pengaruh dan sumbangan terbesar dari Gramsci justru kritiknya terhadap
pendidikan politik indoktrinasi dan pendidikan sebagai penindasan. Pemikiran Gramsci
berpengaruh besar terhadap filsafat dan metodologi pendidikan dialogis dan pendidikan
untuk penyadaran kritis dan participatory research. Beberapa pemikirannya mengenai civil
society, counter hegemony. Terutama konsepnya mengenai war opposition dan war of manuver telah
memberikan inspirasi para pencetus ‘popular education’ di tahun 70-an dimana pendidikan
massa diletakkan sebagai gerakan ‘tandingan terhadap hegemoni dominan’. Pendidikan
dalam konteks tersebut merupakan aksi kultural bagi civil society untuk membangkitkan
kesadaran kritis rakyat terhadap sistem dan struktur yang menyebabkan ketertindasan,
eksploitasi, dan berbagai sistem sosial yang tidak adil lainnya seperti struktur kelas, relasi
gender, dan rasisme. Di akhir tulisannya, Fakih nyatakan bahwa kesadaran politik kritis
terhadap hegemoni dominan dan sistem yang tidak adil, merupakan dasar penting dalam
civil society yang merupakan perkumpulan sosial politik, masyarakat adat, pesantren,
ataupun ornop. Dimana masing-masing anggotanya memiliki kesadaran kritis sebagai
‘intelektual organik’, dalam suatu aksi politik untuk menciptakan sejarah mereka sendiri.
Lebih dari itu, civil society juga merupakan gerakan kontra diskursus warga negara terhadap
diskursus dominan seperti globalisasi, developmentalisme yang tidak demokratis dan tidak
berkeadilan sosial. Oleh karena itu, pendidikan dalam arti membangkitkan kesadaran kritis
pada setiap warga negara menjadi bagian mendasar bagi demokratisasi.
Sejajar dengan para tokoh revolusi lainnya adalah Muammar Kadafi. Tokoh
revolusi Libya ini memahami islam berdasarkan interpretasi sejarah dan teologi Islam
secara sosialistik. Sehingga sistem sosialisme yang dibangunnya meletakkan pandangan
sosialistik. Tentang hak pemilikan tanah, Kadafi menganggap bahwa tanah adalah milik
Allah dan manusia hanya memanfaatkannya. Untuk itu Kadafi melancarkan aksi
pengaturan sumber daya alam yang lebih adil yang bercorak sosialistik. Pembaharuan
keagamaannya justru kemudian menggeser hukum dan yurisprudensi Islam dari arena
publik di Libya. Bagi Kadafi, fikih yang merupakan tafsiran ulama tidak memiliki
kekekalan kebenaran seperti al Qur’an. Oleh karena itu revolusi Libya adalah revolusi
sosial yag juga merupakan gerakan pengembalian Islam kepada watak dasarnya. Menjadi
penting jika pada saat ini para pemikir pembaharuan Islam kembali menengok gerak
perjuangan Kadafi. Sebagaimana Fakih menulis,” Dalam kaitan itulah ‘membaca’ Kadafi
akan menyumbangkan setetes inspirasi dari lautan inspirasi yang diperlukan untuk
membangun pemikiran dan tatanan alternatif yang terbaik yang tengah dicari dan
diharapkan bangsa Indonesia saat ini”. Dalam membangun masyarakat demokratis, dalam
buku The Green Book bagian pertamanya, Kadafi tidak menggunakan landasan sosial politik
Islam sebagai suatu golongan eksklusif dan berwatak sektarian. Islam yang dikembangkan
oleh Kadafi adalah Islam rahmat bagi seluruh alam. Hal ini mengandung pengertian suatu
perjuangan revolusi untuk membentuk tatanan sosial politik yang memberi manfaat bagi
seluruh umat manusia. Dalam tulisan ini Fakih ingin mengingatkan bahwa pilihan agenda
demokratisasi selalu mempunyai implikasi yang luas dan jangka panjang terhadap rakyat.
Keputusan pilihan pada paham demokrasi tertentu akan berimplikasi terhadap kehidupan
sosial politik dan ekonomi rakyat di masa datang. Tokoh lain yang juga mendapat perhatian Fakih adalah Michel Foucault. Foucault adalah salah satu tokoh posmodernisme Perancis yang pikiran-pikirannya sering digunakan untuk memahami teori perubahan sosial. Posmodernisme berkembang untuk pertama kalinya di Perancis sebagai suatu gerakan pemikiran yang secara mendasar
melancarkan kritik terhadap modernisme, yakni suatu ide yang berkembang sejak masa
pencerahan di Eropa. Arkeologi dan genealogi inilah yang menjadi pusat perhatian
Foucault. Dengan ini Foucault mendeskripsikan dan menguraikan anatomi suatu
kekuasaan yang ada dalam suatu diskursus. Karyanya dalam ‘diskursus’ mempunyai
implikasi radikal tidak saja pada disiplin ilmu humaniora, seni dan sastra tetapi untuk
semua pengetahuan. Baginya ‘knowledge is not something that can exist apart power relation’.
Pikirannya akan kekuasaan menyadarkan orang akan relasi ‘kekuasaan’ antara penganut
agama-agama Barat yang turun dari langit dan merupakan ‘kebenaran’ dengan kepercayaan
dan teologi lokal, ‘pagan’, dan animisme yang perlu “diselamatkan”. Apa yang disebutnya
sebagai geneologi membawa pengaruh pada ilmu-ilmu sosial untuk mendorong
pemberdayaan rakyat lokal dan akar rumput melalui penyembuhan atau pemuliaan
pengetahuan masyarakat yang ditundukkan dan didiskualifikasi oleh hegemoni
pengetahuan posistivisme. Dengan begitu pengetahuan bisa menjalankan tugas
transformasi hanya jika pengetahuan membongkar dan menghentikan relasi kekuasaan.
Mengenai uraian panjang di atas, pembahasan utama Fakih sebenarnya pada
globalisasi dan dampaknya bagi masyarakat. Globalisasi menurut Fakih adalah sebagai
lanjutan dari paham kapitalisme, developmentalism yang berakar pada liberalisme. Krisis
terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari krisis
sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain. Proses sejarah dominasi
itu pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga periode formasi sosial. Fase pertama adalah
kolonialisme, fase kedua dikenal dengan istilah developmentalism dan kemudian dilanjutkan
oleh neoliberalisme. Pada fase pertama terjadi dominasi secara fisik, fase kedua secara non
fisik, dimana negara dunia ketiga yang merdeka masih mendapat “pengawasan” dari bekas
penjajahnya. Pendirian neoliberalisme pada prinsipnya tidak bergeser dari liberalisme yang
dicetuskan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations. Aturan dasar kaum neoliberal
adalah ‘liberalisasikan perdagangan dan finance,’ ‘biarkan pasar menentukan harga,’ ‘akhiri
inflasi,’ ‘stabilisasi ekonomi makro,’ ‘privatisasi,’ ‘pemerintah harus menyingkir dari
menghalangi jalan’. Paham inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan
konsensus yang dipaksakan, dikenal sebagai globalisasi, sehingga terciptalah tata dunia
baru. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam sebuah rumusan The Neoliberal Washington
Consensus, yang terdiri dari para pembela ekonomi privat terutama wakil dari perusahaanperusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi internasional dan memilikikekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam rangka membentuk opini
publik.Sejak dikembangkannya kesepakatan the Bretton Woods dengan didirikannya IMF
dan World Bank, serta ditandatanganinya kesepakatan GATT, dunia secara global
sesungguhnya telah memihak dan didorong oleh kepentingan perusahaan transnasional
(TNCs/Trans National Coorporations). Untuk itu dengan serta merta negara-negara dunia
ketiga mengadakan reformasi mengenai kebijakan ekonomi, politik dan sosial budaya.
Implikasi perubahan kebijakan yang memihak kepentingan TNCs ini akan memarginalkan
petani, pedagang kecil, nelayan, serta masyarakat adat dalam hal perebutan sumber daya
alam terutama tanah, hutan dan laut. Dalam hal ini Fakih sangat menyoroti pembajakan
terhadap sumber daya genetika. Keanekaragaman hayati secara umum telah rusak parah,
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, oleh pemakaian varietas unggul yang
meningkatkan displace less profitable plants. MNCs (Multi National Coorporations) telah
membatasi akses terhadap sumber daya genetika melalui pemakaian paten yang juga
sebenarnya merupakan “lumbung gen” yang tersedia bagi kelompok produsen terbatas
dan petani. Kedua oleh biopiracy yang secara efektif dilakukan perusahaan MNCs. Seperti
yang terjadi pada Percy Schmeise, seorang petani kecil di Saskatchewan, Kanada.
Schmeise dituduh telah secara ilegal menggunakan benih rekayasa genetika Monsanto.
Dan akhirnya pengadilan memerintahkan Schmeise untuk membayar beberapa ribu dolar
AS pada Monsanto atas pelanggaran hak patennya. Betapa dahsyat jangkauan konsekuensi
pengaugerahan HaKI pada benih. Globalisasi yang terjadi saat ini adalah globalisasi korporasi. Globalisasi korporasi ini pada dasarnya sutu globalisasi yang berdasarkan pada prinsip neoliberalisme serta paham pasar bebas. Oleh karena itu, menurut Fakih, globalisasi sesungguhnya lebih tepat dikatakan sebagai globalisasi arus uang dan globalisasi korporasi liberalisme ekonomi. Dalam hal ini kita memerlukan wacana tandingan terhadap paham globalisasi korporasi dominan ini yakni globalisasi dari perspektif rakyat miskin, petani kecil, nelayan, kaum perempuan dan kaum marginal lainnya. Globalisasi yang dimaksud adalah suatu model ekonomi yang mengembalikan peran negara untuk mengatur ekonomi dan politik yang
berpihak pada rakyat miskin.Menghadapi tantangan globalisasi ini, Fakih menengok kepada sejarah lahirnya Islam di tengah elit Quraisy. Ketika itu Islam merupakan gerakan spiritual, moral, budaya, politik, serta sistem ekonomi alternatif. Selain itu juga Islam lahir sebagai jalan
pembebasan dan kemanusiaan dari dua kekuatan global zamannya, yakni kekuasaan
Romawi di Barat dan Bizantium di Timur. Tetapi apakah Islam akan dapat
mempertahankan citra dan visi spiritual sebagai penebar rahmat, pembebas bagi kaum
tertindas, pembebas manusia dari segala alienasi? Apakah Islam mampu menjadi jalan
alternatif manusia untuk lepas dari berbagai jeratan ketidakadilan? Apakah Islam mampu
melawan gurita ideologi neoliberalisme, marginalisasi politik ekonomi dan peminggiran
budaya rakyat akibat jeratan kapitalisme global? Jawaban untuk ini kembali pada teologi
dan paradigma pemikiran Islam itu sendiri, karena Islam secara teologi, paradigma
maupun teori sosial sangatlah plural. Untuk itu Fakih mencoba melakukan pemetaan
terhadap golongan Islam di Indonesia. Pemetaan ini dilakukan berdasarkan ideologi
golongan Islam dalam merespon kemiskinan. Fakih menggolongkan Islam, saat ini, dalam
empat golongan yakni paradigma/golongan tradisionalis, modernis, revivalist, dan
transformatif. Dalam tulisan ini Fakih memaparkan tentang pandangan masing-masing
golongan terhadap kapitalisme global. Fakih menganggap peluang besar untuk terjadinya
perubahan sosial terdapat pada paradigma transformatif. Merakalah yang diharapkan akan
mampu menciptakan ruang dalam proses demokratisasi ekonomi, politik, dan budaya di
Indonesia. Akan tetapi golongan ini belum mampu menemukan legitimasi teologis yang
mandapat dukungan massa. Tulisan terakhir yang diberi judul “Panggil Saja Kami Kaum Difabel”, menjadi tulisan yang sangat menarik. Difabel (differntly able) atau kelompok manusia yang memiliki kemampuan berbeda adalah istilah yang sedang diperjuangkan untuk menggantikan istilah disable ataupun penyandang cacat, karena istilah tersebut mengandung streotip negatif dan bermakna disempowering. Tulisan ini mengupas makna kecacatan dalam kaitannya dengan nasib dan kehidupan terhadap manusia yang mendapat label sebagai penyandang cacat, dan apa asumsi di balik penyelenggaraan kegiatan, santunan, maupun pendidikan bagi mereka yang mendapat julukan kaum penyandang cacat tersebut. Dengan kata lain apakah bimbingan sosial, santunan, serta pendidikan yang ditujukan kepada mereka ini berperan dalam pemberdayaan dan membangkitkan kemanusiaan mereka atau justru menjadi
bagian dari masalah, yakni semakin terjadinya proses dehumanisasi bagi mereka yang
dijuluki penyandang cacat tersebut. Untuk mamahami masalah ini, Fakih membagai
tulisannya dalam tiga bagian. Pertama, dibahas tentang bagaimana konstruksi social
penyandang cacat dan akibatnya terhadap diskriminasi dan berbagai bentuk ketidakadilan
terhadap penyandang cacat. Bagian kedua tentang bagaimana konstruksi ideologi
normalitas tersebut diletakkan dalam struktur formasi sosial dewasa ini. Bagian ketiga
adalah analisis mengenai berbagai paradigma pendidikan dalam kaitannya dengan nasib
penyandang cacat. Dalam uraiannya Fakih mengkritik terhadap institusi dan kebijakan
pendidikan yang sama sekali tidak humanis dan diskriminatif. Pendidikan sebagai bagian
dari masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi. Seharusnya pendidikan,
meminjam istilah Freire, adalah proses memanusiakan manusia kembali. Mengakhiri
tulisannya, Fakih nyatakan bahwa dalam konteks memanusiakan penyandang cacat,
pendidikan perlu mengubah visi ideologi mereka terhadap penyandang cacat. Apa yang
diperlukan adalah dekonstruksi terhadap paham cacat-normal yang selama ini tanpa
disadari dilanggengkan juga oleh sistem pendidikan. Perjuangan penyandang cacat untuk
bebas dari diskriminasi dan ketidakadilan tidak saja menyangkut aksesibilitas dalam sistem
sosial, politik, ekonomi, budaya, serta lingkungan infrastruktur yang ada, namun justru
yang lebih berat adalah peluang mengubah asumsi dan ideologi cacat-normal yang telah
mengakar di masyarakat. Dalam konteks itulah perubahan ideologi pendidikan menuju
‘sensitif terhadap penyandang cacat’ menduduki posisi penting.
Demikian akhir dari keseluruhan kumpulan tulisan dalam buku ini. Sekalipun
bidang bahasannya berbeda-beda, tetapi kita dapat menarik benang merah dari apa yang
ingin disampaikan oleh Mansour Fakih. Fakih ingin membuka ruang kritis dan
perenungan yang dalam bagi kita semua mengenai permasalahan yang tengah terjadi di
Indonesia saat ini. Bahwa segala yang terjadi merupakan sebuah konstruksi dari sebuah
kekuatan yang perlu kita waspadai dan kita kritisi bersama, yaitu kekuatan kapitalisme
global. Buku ini menjadi penting untuk dibaca, karena mengandung informasi yang luas
dan merupakan hasil kajian pustaka yang mendalam. Terutama untuk bagian ‘Pemikiran
Para Tokoh’, tulisan Fakih ini dapat menjadi pengantar yang memadai dan mungkin
menjadi intisari dari pemikiran para tokoh tersebut. Terlepas dari itu semua, buku ini
cukup sulit untuk dipahami. Oleh karena itu dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dan
keterbukaan untuk menerima berbagai ide yang dilontarkan oleh penulis.

This entry was posted on Minggu, Februari 20, 2011 at 6:06 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Posting Komentar