Muhkam dan Mutasyabihat  

Posted by Unknown in

A.    PENDAHULUAN
Manusia semakin sadar akan pentingnya interpretasi terhadap kitab suci al-Quran untuk menjaga eksitensinya menjawab kompleksitas persoalan sekaligus menjadi pedoman paripurna kepada umat manusia. Guna mendapatkan hasil interpretasi yang sesuai dengan isi yang terkandung dalam kalam Ilahi ini, diperlukan bermacam perangkat analisis untuk mengurainya.
Salah satu perangkat analisis yang digunakan dalam memahami al-Quran  adalah ilmu muhkam dan mutasyabih.  Kajian seputar ilmu muhkam dan mutasyabih sering menumbulkan ragam kontroversi sepanjang sejarah penafsiran al-Qur’an karena perbedaan interpretasi antara ulama tentang hakikat muhkam dan mutasyabih. Dalam al-Quran memang tersajikan kata-kata muhkam dan mutasyabih dengan beberapa pengertian diantaranya Pertama, lafal Muh{kam, terdapat dalam Q.S. Hu>d [11]: 1
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Artinya: Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci,[1] yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.
Kedua, lafal Mutasyabih  terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ ...
Artinya: Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang,[2]...
Ketiga, lafal Muh{kam dan Mutasya>bih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]: 7:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ .
Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,[3] Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.[4] Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Ilmu muhkam dan mutasyabih ini mempunyai ragam pengertian dari masa ke masa, sebelum abad ke-3 hijriah misalnya, menanyakan tentang ayat-ayat mutasyabih saja, seorang penanya harus menerima hukuman karena kekhawatiran ulama akan tercampurnya kemurnian al-Qur’an.[5] Hanya segelintir orang yang dipercaya yang diperkenakan melakukan interpretasi terhadap al-Quran.
Pembahasan tentang muhkam dan mutasyabih semakin berkembang setelah abad ke-3, diantara alasan berkembangnya ialah semakin mencuatnya permasalahan di kehidupan manusia dan semakin banyak minat intelektual untuk menggali  kandungan al-Qur’an.
Tulisan ini mencoba memaparkan tentang ilmu muhkam dan mutasyabih disertai beberapa tanggapan para ulama terkait permasalahan seputar  ilmu muh{kam dan mutasya>bih.
B.     PEMBAHASAN
1.    Pengertian secara Etimologi
Kata muhkam secara bahasa berasal dari bahasa arab yaitu الحُكْمُ yang berarti putusan dan kekuasaan, selanjutnya الحَكِيْم yaitu yang arif, bijaksana (orang yang mencegah zalim dan memisahkan dua atau lebih pihak yang bertikai), filosof, dokter/tabib. Sedangkan المُحْكَم adalah sesuatu yang tepat, jelas, teliti, sempurna.[6] Maka apabila diakitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an itu disusun secara teliti, jelas dan sempurna, sedikitpun tidak ada celah untuk melakukan kritik terhadapnya. Pengertian ini agaknya sesuai dengan yang dimaksud pada ayat disebutkan di atas, yaitu pada Q.S. Hud [11]: 1.
Sedangkan kata mutasyabih diambil dari kata تَشَبَّهَ yang berarti menyerupai,[7] atau bisa juga diartikan samar-samar, mengandung berbagai konotasi yang biasanya membawa kepada ketidakpastian atau ragu. Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, banyak dijumpai kemiripan antara ayat yang satu dengan yang lain, maka tidak bisa dibedakan antara masing-masing ayat itu karena semuanya berada pada level yang sama dari sudut balaghah-nya, kemukjizatannya, kebenaran informasi yang dibawanya, penempatan kata yang akurat dan susunan kalimat yang amat kokoh, dan sebagainya.[8] Apabila kita merujuk pada al-Quran, ayat yang sesuai dengan definisi ini terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23.
Berdasarkan pengertian di atas, maka kedua pengertian itu secara etimologi tidak bertentangan satu sama lain. Artinya ayat-ayat al-Qur’an tersebut tersusun secara rapi dan sempurna hingga tampak dan terasa sekali pada keseluruhan ayat-ayatnya tanpa kecuali, dalam pengertian kesemua ayat ini memiliki daya tarik dan i’ja>z yang sama, mulai dari surat pertama sampai surat terakhir.[9]
2.    Pengertian secara Terminologi
Ilmu muhkam dan mutasyabih sebagai perangkat analisis penafsiran al-Qur’an mempunyai banyak variasi tentang makna istilah kedua term ini. Namun, dari berbagai variasi tersebut setidaknya dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu teori isi, teori pengalaman dan teori pemahaman.[10]
a.       Teori Isi
Teori isi berarti memahami muhkan dan mutasyabih merujuk pada isi al-Quran. Dalam teori isi ini ada tiga pendapat yang perlu diketahui, yaitu:
1)      Ibnu Abbas
Menurutnya ayat muhkam ialah sepuluh perintah Allah swt yang tertulis dalam Q.S. al-An’am ayat 151-153 yang merupakan sepuluh perintah yang diberikan kepada nabi Musa as. Sedangkan ayat-ayat lainnya adalah ayat Mutasyabih. Adapaun ayat tersebut ialah:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (١٥١)وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (١٥٢)وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٥٣)
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). 152. dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. 153. dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.

2)      As Sya’bah dan Syamsu Rizal Panggabean
As Sya’bah menarik pengertian dari term mutasyabih dan berpendapat bahwa  semua kisah-kisah dalam al-Quran merupakan ayat-ayat mutasyabih. Pendapat ini kemudian deperjelas oleh Syamsu Rizal Panggabean bahwa mutasyabih ialah tujuh kisah yang terdapat dalam surat al-Syu’ara. Yaitu kisah Musa, Ibrahim, Nuh, Hud, Luth, Syu’aib dan Sholeh.
Pada dasarnya, di dalam al-Qur’an harus diketahui bahwa terdapat ayat-ayat yang menggunakan kata yang sama namun dalam konteks yang berbeda. Kata ta’wil selain ditafsirkan  sebagai “penggalian makna” juga bisa ditafsirkan dengan “akibat”. Sehingga pada Q.S. Ali Imran: 7 menjelaskan bahwa yang mengetahui akibat dari segala sesuatu adalah hanya Allah swt saja.
Berangkat dari asbabun nuzul Q.S. Ali Imran: 7 yang berkaitan dengan perang uhud di mana pada saat itu umat Islam mengalami kekalahan. Kisah-kisah tersebut oleh orang-orang kafir dijadikan bahan ejekan (senjata untuk mencari-cari akibat yang ditimbulkan jika mereka tidak mengimani Muhammad) atas kemenangannya dari  umat Islam, karena ketujuh kisah nabi di atas menceritakan bahwa nabi-nabi tersebut mendapatkan pertolongan Tuhan dan menang dalam menghadapi musuh-musuhnya.
3)      Selain pendapat di atas pemahaman seputar muhkam dan mutasyabih di artikan sebagai ayat tentang halal dan haram, umum-khusus sebagaimana yang diungkapkan oleh Ali ibnu Abi Thalhah[11] dan lain-lain
b.      Teori Pengalaman
Teori ini mendefinisikan bahwa muhkam ialah ayat-ayat yang tidak di nasakh dan mutasyabih ialah ayat-ayat yang perlu di nasakh.
c.       Teori Pemahaman
Teori ini menjelaskan muhkam dan mutasyabih dengan merujuk pada bisa dipahami atau tidak. Beberapa ulama yang memberikan teori ini seperti:
1)      Malik bin Anas, menurutnya ayat-ayat mutasyabihat tidak bisa dipahami oleh manusia
2)      Al-Asy’ari, berpendapat bahwa ayat mutasyabihat bisa dipahami oleh yang rasikh ilmunya.
3)      Al-Ashfahani: memberikan kriteria ayat-ayat mutasyabihat yaitu:
a)      Ayat-ayat yang kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, waktu kedatangan hari Kiamat dan semacamnya.
b)      Ayat-ayat yang dapat diketahui melalui penelitian yang seksama atau dengan sarana bantu baik dengan ayat-ayat muhkamat, hadits-hadits shahih maupun ilmu pengetahuan  seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, atau kesamarannya lahir dari singkatnya redaksi dan atau lafal dan susunannya yang terlihat aneh, serta hukum-hukumnya yang tertutup.
c)      Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh para ulama yang sangat mantap pengetahuannya dengan melakukan penyucian jiwa. Ayat-ayat semacam ini tidak dapat terungkap maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata. Sebagaimana diisyaratkan oleh doa Rasulullah untuk Ibnu Abba>s, Ya Allah, karunialah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahkanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.[12]
3.    Sikap Ulama terhadap Ayat-Ayat Sifat Allah
Secara umum, ulama tidak mempersoalkan ayat-ayat mutasyabihat yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan. Perbedaan yang muncul adalah ketika berhadapan khusus pada ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan yaitu terdiri dari dua kelompok yang menerimanya tanpa ta’wil dan menerimanya dengan ta’wil.
Mereka yang begitu saja menerima secara apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Yaitu dengan cara menyerahkan saja maksudnya kepada Allah dan tidak mau mempersoalkan lebih jauh seperti tampak dalam jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang استواء   di dalam ayat الرّحْمن عَلَى العَرْشِ اسْتوى dengan berkata “bahwa Allah jelas (tapi) caranya tidak diketahui, dan pertanyaan tentang itu membawa kepada bid’ah (kesesatan), [lantas Imam Malik marah kepada seorang yang bertanya] “saya mengira kamu seorang yang jahat, usir dia dari majlisku.”[13]
Sekitar abad ke-3 Hijriah, muncul generasi yang disebut ulama khalaf. pada waktu ini mulai mulai sedikit toleran dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat itu. Mereka menakwilkan semua sifat-sifat yang terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat dengan takwilan rasional. Kata استواء    mereka takwilkan dengan pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kesulitan. “Tangan” mereka artikan kekuasaan Allah. Dan lain sebagainya.
Timbulnya dualisme pendapat yang kontradiktif ini disebabkan perbedaan qira’at  dalam Q.S. Ali Imran ayat 7. Pertama, mentapkan wakaf  pada lafal  إِلا اللَّهُ. Qira’at ini didukung oleh Ibn Abbas, ‘Aisyah, Ibn Mas’ud dan lain-lain. Kemudian diikuti oleh Abu Hanifah, dan mayoritas ahli hadits.[14] Dengan demikian menurut qira’at ini, ungkapan .... وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ adalah kalimat baru. Dengan cara baca seperti ini berarti orang-orang yang sangat dalam pengetahuannya tidak mengetahui takwil melainkan mereka berkata “kami mengimaninya saja”.
Kedua, mereka yang membolehkan penakwilan aya-ayat mutasyabih itu didasari pada qira’at yang menempatkan wakaf pada lafal ... فِي الْعِلْم. Qira’atini dipilih oleh ibn al-Hajib, Mujahid, Ibn Qutaybat dan lain-lain. Dengan demikian, maka ayat tersebut dipahami menjadi ”Tidak ada yang tahu takwilnya (ayat-ayat mutasyabihat itu) kecuali Allah dan orang-orang yang mendalami ilmunya; seraya mereka menyatakan kami percaya bahwa semua itu berasal dari Tuhan kami. [15] Mengacu pada masalah ini Ibn Taimiyat membantah pendapat yang menyatakan bahwa nama-nama dan sifat-sifat Tuhan termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang tidak diketahui maknanya dikalangan ulama salaf. Kiranya hal ini didasari pada do’a Rasulallah untuk Ibn ‘Abbas. Pemikiran Ibn Abbas diyakini sebagai salah satu model penafsiran paling akurat baik bagi kalangan mufassir bi il-Ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al-Ra’yi. Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah satu seorang tokoh yang berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al-Aqur’an.[16] Ia merujuk pada syair-syait Arab kuno ataupun percakapan Arab Badui yang memiliki kemurnian bahasa yang tinggi untuk memahami makna ayat-ayat yang sulit dipahami. Pada mulanya ia sama sekali tidak mengetahui kata فاطرالسموات , sampai suatu ketika ia mendengar dua orang Arab badui tengah bertikai masalah sebeuah sumur. Salah seorang Arab Badui mengatakan: انا فطرتها (aku yang membuatnya). dengan adanya percakapan tersebut, barulah ia mengetahui makna dari kata  فطر.
4.    Urgensi Ayat-Ayat  Mutasya>biha>t terhadap Ilmu Keislaman
Keberadaan ayat-ayat Mutasyabih ini mempunyai peran yang sangat signifikan diantaranya: dalam rangka mengembangkan potensi nalar pikiran. Seandainya pemahaman ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi sudah membawa pemahaman yang paripurna lagi jelas, tentu tidak ada gunanya lagi upaya mengerahkan daya ijtihad untuk memahaminya; sebagai penekanan bahwa kandungan al-Qur’an mencakup seluruh tingkatan intelektual manusia. Misalnya al-Qur’an  sering menggunakan bahasa yang sederhana atau mewakili dari suatu kata agar orang awam bisa memahaminya, namun di balik pesan sederhana tersebut bagi yang mempunyai pemikiran mendalam juga bisa menggali arti tersembunyi dari kata tersebut; mengisyaratkan manusia untuk selalu bersiap diri. Seandainya hari kiamat dan hal-hal gaib lainnya bisa diketahui secara mudah maka manusia menjadi malas.
Pengkajian terhadap ayat-ayat mutasyabihat juga akan mewujudkan ragam ilmu pengetahuan baru sebagaimana sejarah mencatat kegemilangan umat Islam yang telah melahirkan intelektual-intelektual muslim yang pemikirannya masih dipertimbangkan di era dewasa ini.
C.     PENUTUP
Demikianlah pembahasan seputar muhkam dan mutasyabih yang telah mengalami pergesaran makna dari masa ke masa. Pada dasarnya, sikap para ulama terdahulu tidak berarti mereka anti terhadap penafsiran ayat-ayat mutasyabih, yang tidak mereka tolerir adalah interpretasi yang didorong oleh maksud-maksud jahat yang bertujuan untuk mencampuri kesucian Allah dan kitab sucinya sebagai Rahmatan li al-‘Alamin.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Abu. Ulumul Qur’an sebuah Pengantar, cet II, Pekanbaru, Amzah. 2005
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulu>mul Qur’an, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998
Dahlan, Zaini, dkk. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991
Goldzhiher, Ignaz. Madhab Tafsir, Yogyakarta, eLSAQ Press. Cet III. 2006.
Hitami,Munzin. Menangkap Pesan-Pesan Allah, Pekanbaru. Suska Press. 2006
Machasin. AliQadi Abd al-Jabbar Mutasyabih Al Qur’an: Dalih Rasionalitas Al-Qur’an, yogyakarta, Mizan, 2000.
Munawwir, A.Warson. Kamus al- Munawwir, Edisi Kedua Yogyakarta, Pustaka Prograsif, cet XIV, 1997
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, jakarta: Lentera Hati 2002
Al-Suyuti, Jalaludin. Al-Itqa>n fi Ulu>mi al-Qur’an, Juz 2 Maktabah Syamilah
Thabathaba’i, Muhammad Husain. Mengungkap Rahasia Al- Qur’an, terjemah A Malik Madani dan Hamim Ilyas, Bandung, Mizan, 1993



[1] Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain. Lihat Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
[2] Maksud berulang-ulang di sini ialah hukum-hukum, pelajaran dan kisah-kisah itu diulang-ulang menyebutnya dalam Al Quran supaya lebih kuat pengaruhnya dan lebih meresap. sebahagian ahli tafsir mengatakan bahwa Maksudnya itu ialah bahwa ayat-ayat Al Quran itu diulang-ulang membacanya seperti tersebut dalam mukaddimah surat Al Faatihah. Ibid.
[3] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Ibid
[4] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Ibid.
[5] Lihat dalam Ignaz Goldzhiher, Madhab Tafsir, Yogyakarta, eLSAQ Press. Cet III. 2006. Hlm 77-76
[6] Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir, Edisi Kedua Yogyakarta, Pustaka Prograsif, cet XIV, 1997 , hlm. 286,287
[7] Ibid
[8] Nashrudin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2005. Hlm. 153.
[9] Ibid, Hlm. 154.
[10] Sebagaimana keterangan Dr. Hamim Ilyas dalam kuliahnya pada program studi al-Quran dan Hadis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
[11] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998. Hlm. 73
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, jakarta: Lentera Hati 2002, vol 2. Hlm. 13-14; lihat juga Syamsurizal Panggabean. “Makna Muhkam dan Mutasyabih dalam al-Qur’an,” Makalah disampaikan dalam Diskusi Al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 5 Maret 1989,h.3-4. Ibid. Hlm 73
[13] Nashrudin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir 162
[14] Ibid. Hlm. 165
[15] Machasin, AliQadi Abd al-Jabbar Mutasyabih Al Qur’an: Dalih Rasionalitas Al-Qur’an, yogyakarta, Mizan, 2000. Hlm. 57-56
[16] Munzin Hitami, Menangkap Pesan-Pesan Allah, Pekanbaru. Suska Press. 2006. Hlm. 34

This entry was posted on Kamis, Mei 23, 2013 at 3:16 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Posting Komentar