A. PENDAHULUAN
Manusia
semakin sadar akan pentingnya interpretasi terhadap kitab suci al-Quran untuk
menjaga eksitensinya menjawab kompleksitas persoalan sekaligus menjadi pedoman
paripurna kepada umat manusia. Guna mendapatkan hasil interpretasi yang sesuai
dengan isi yang terkandung dalam kalam Ilahi ini, diperlukan bermacam perangkat
analisis untuk mengurainya.
Salah satu
perangkat analisis yang digunakan dalam memahami al-Quran adalah ilmu muhkam dan mutasyabih. Kajian seputar ilmu
muhkam dan mutasyabih sering menumbulkan ragam kontroversi sepanjang sejarah
penafsiran al-Qur’an karena perbedaan
interpretasi antara ulama tentang hakikat muhkam dan mutasyabih. Dalam al-Quran
memang tersajikan kata-kata muhkam dan mutasyabih dengan beberapa pengertian
diantaranya Pertama, lafal Muh{kam, terdapat dalam Q.S. Hu>d
[11]: 1
الر
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Artinya:
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci,[1]
yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.
Kedua, lafal Mutasyabih
terdapat
dalam Q.S. Zumar [39]: 23
اللَّهُ
نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ ...
Artinya:
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang,[2]...
Ketiga,
lafal Muh{kam dan Mutasya>bih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal
ini terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]: 7:
هُوَ الَّذِي
أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ
هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي
قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ
وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ .
Artinya: Dia-lah
yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat,[3]
Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.[4]
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.
Ilmu
muhkam dan mutasyabih ini mempunyai ragam pengertian dari masa ke masa, sebelum
abad ke-3 hijriah misalnya, menanyakan tentang ayat-ayat mutasyabih saja,
seorang penanya harus menerima hukuman karena kekhawatiran ulama akan
tercampurnya kemurnian al-Qur’an.[5] Hanya
segelintir orang yang dipercaya yang diperkenakan melakukan interpretasi
terhadap al-Quran.
Pembahasan
tentang muhkam dan mutasyabih semakin berkembang setelah abad ke-3, diantara
alasan berkembangnya ialah semakin mencuatnya permasalahan di kehidupan manusia
dan semakin banyak minat intelektual untuk menggali kandungan al-Qur’an.
Tulisan
ini mencoba memaparkan tentang ilmu muhkam dan mutasyabih disertai beberapa
tanggapan para ulama terkait permasalahan seputar ilmu muh{kam dan mutasya>bih.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
secara Etimologi
Kata
muhkam secara bahasa berasal dari bahasa arab yaitu الحُكْمُ yang berarti putusan dan
kekuasaan, selanjutnya الحَكِيْم
yaitu yang arif, bijaksana (orang yang mencegah zalim dan memisahkan dua
atau lebih pihak yang bertikai), filosof, dokter/tabib. Sedangkan المُحْكَم adalah sesuatu yang tepat, jelas, teliti, sempurna.[6] Maka
apabila diakitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa semua ayat-ayat
al-Qur’an itu disusun secara teliti, jelas dan sempurna, sedikitpun tidak ada
celah untuk melakukan kritik terhadapnya. Pengertian ini agaknya sesuai dengan
yang dimaksud pada ayat disebutkan di atas, yaitu pada Q.S. Hud [11]: 1.
Sedangkan kata mutasyabih
diambil dari kata تَشَبَّهَ
yang berarti menyerupai,[7]
atau bisa juga diartikan samar-samar, mengandung berbagai konotasi yang
biasanya membawa kepada ketidakpastian atau ragu. Dalam kaitannya dengan
al-Qur’an, banyak dijumpai kemiripan antara ayat yang satu dengan yang lain,
maka tidak bisa dibedakan antara masing-masing ayat itu karena semuanya berada
pada level yang sama dari sudut balaghah-nya, kemukjizatannya, kebenaran
informasi yang dibawanya, penempatan kata yang akurat dan susunan kalimat yang
amat kokoh, dan sebagainya.[8] Apabila
kita merujuk pada al-Quran, ayat yang sesuai dengan definisi ini terdapat dalam
Q.S. Zumar [39]: 23.
Berdasarkan pengertian di atas, maka
kedua pengertian itu secara etimologi tidak bertentangan satu sama lain. Artinya
ayat-ayat al-Qur’an tersebut tersusun secara rapi dan sempurna hingga tampak
dan terasa sekali pada keseluruhan ayat-ayatnya tanpa kecuali, dalam pengertian
kesemua ayat ini memiliki daya tarik dan i’ja>z yang sama, mulai dari
surat pertama sampai surat terakhir.[9]
2.
Pengertian
secara Terminologi
Ilmu muhkam dan mutasyabih sebagai perangkat analisis
penafsiran al-Qur’an mempunyai banyak variasi tentang makna istilah kedua term ini. Namun,
dari berbagai variasi tersebut setidaknya dapat dikategorikan menjadi tiga
yaitu teori isi, teori pengalaman dan teori pemahaman.[10]
a. Teori Isi
Teori
isi berarti memahami muhkan dan mutasyabih merujuk pada isi al-Quran. Dalam
teori isi ini ada tiga pendapat yang perlu diketahui, yaitu:
1) Ibnu Abbas
Menurutnya ayat muhkam ialah
sepuluh perintah Allah swt yang tertulis dalam Q.S. al-An’am ayat 151-153 yang
merupakan sepuluh perintah yang diberikan kepada nabi Musa as. Sedangkan
ayat-ayat lainnya adalah ayat Mutasyabih. Adapaun ayat tersebut ialah:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا
أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ (١٥١)وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى
يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لا نُكَلِّفُ
نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى
وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
(١٥٢)وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٥٣)
Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua
orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). 152. dan janganlah
kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil,
Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. 153. dan bahwa (yang
Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa.
2) As Sya’bah
dan Syamsu Rizal Panggabean
As Sya’bah menarik pengertian
dari term mutasyabih dan berpendapat bahwa
semua kisah-kisah dalam al-Quran merupakan ayat-ayat mutasyabih.
Pendapat ini kemudian deperjelas oleh Syamsu Rizal Panggabean bahwa mutasyabih
ialah tujuh kisah yang terdapat dalam surat al-Syu’ara. Yaitu kisah Musa,
Ibrahim, Nuh, Hud, Luth, Syu’aib dan Sholeh.
Pada dasarnya, di dalam
al-Qur’an harus diketahui bahwa terdapat ayat-ayat yang menggunakan kata yang
sama namun dalam konteks yang berbeda. Kata ta’wil selain ditafsirkan sebagai “penggalian makna” juga bisa
ditafsirkan dengan “akibat”. Sehingga pada Q.S. Ali Imran: 7 menjelaskan bahwa
yang mengetahui akibat dari segala sesuatu adalah hanya Allah swt saja.
Berangkat dari asbabun nuzul
Q.S. Ali Imran: 7 yang berkaitan dengan perang uhud di mana pada saat itu umat
Islam mengalami kekalahan. Kisah-kisah tersebut oleh orang-orang kafir
dijadikan bahan ejekan (senjata untuk mencari-cari akibat yang ditimbulkan jika
mereka tidak mengimani Muhammad) atas kemenangannya dari umat Islam, karena ketujuh kisah nabi di atas
menceritakan bahwa nabi-nabi tersebut mendapatkan pertolongan Tuhan dan menang
dalam menghadapi musuh-musuhnya.
3) Selain
pendapat di atas pemahaman seputar muhkam dan mutasyabih di artikan sebagai
ayat tentang halal dan haram, umum-khusus sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ali ibnu Abi Thalhah[11] dan lain-lain
b. Teori
Pengalaman
Teori
ini mendefinisikan bahwa muhkam ialah ayat-ayat yang tidak di nasakh dan
mutasyabih ialah ayat-ayat yang perlu di nasakh.
c. Teori
Pemahaman
Teori
ini menjelaskan muhkam dan mutasyabih dengan merujuk pada bisa dipahami atau
tidak. Beberapa ulama yang memberikan teori ini seperti:
1) Malik bin
Anas, menurutnya ayat-ayat mutasyabihat tidak bisa dipahami oleh manusia
2) Al-Asy’ari,
berpendapat bahwa ayat mutasyabihat bisa dipahami oleh yang rasikh ilmunya.
3)
Al-Ashfahani: memberikan kriteria
ayat-ayat mutasyabihat yaitu:
a) Ayat-ayat yang kandungannya mustahil diketahui
manusia, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, waktu
kedatangan hari Kiamat dan semacamnya.
b) Ayat-ayat yang dapat diketahui melalui penelitian yang
seksama atau dengan sarana bantu baik dengan ayat-ayat muhkamat, hadits-hadits
shahih maupun ilmu pengetahuan seperti
ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, atau kesamarannya lahir dari
singkatnya redaksi dan atau lafal dan susunannya yang terlihat aneh, serta
hukum-hukumnya yang tertutup.
c) Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh para ulama yang
sangat mantap pengetahuannya dengan melakukan penyucian jiwa. Ayat-ayat semacam
ini tidak dapat terungkap maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata.
Sebagaimana diisyaratkan oleh doa Rasulullah untuk Ibnu Abba>s, Ya Allah,
karunialah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahkanlah pengetahuan
tentang ta’wil kepadanya.[12]
3. Sikap Ulama terhadap Ayat-Ayat Sifat Allah
Secara umum, ulama tidak mempersoalkan
ayat-ayat mutasyabihat
yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan. Perbedaan yang muncul adalah
ketika berhadapan khusus pada ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan
yaitu terdiri dari dua kelompok yang menerimanya tanpa ta’wil dan menerimanya
dengan ta’wil.
Mereka yang begitu saja menerima secara
apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Yaitu
dengan cara menyerahkan
saja maksudnya kepada Allah dan tidak mau mempersoalkan lebih jauh seperti
tampak dalam jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang استواء di dalam ayat الرّحْمن عَلَى
العَرْشِ اسْتوى
dengan berkata “bahwa Allah jelas (tapi) caranya tidak diketahui, dan
pertanyaan tentang itu membawa kepada bid’ah (kesesatan), [lantas Imam Malik
marah kepada seorang yang bertanya] “saya mengira kamu seorang yang jahat, usir
dia dari majlisku.”[13]
Sekitar abad ke-3 Hijriah, muncul
generasi yang disebut ulama khalaf. pada waktu ini mulai mulai sedikit
toleran dalam menghadapi ayat-ayat
mutasyabihat itu. Mereka menakwilkan semua sifat-sifat yang terdapat pada
ayat-ayat mutasyabihat dengan takwilan rasional. Kata استواء mereka takwilkan dengan pengendalian Allah
terhadap alam ini tanpa merasa kesulitan. “Tangan” mereka artikan kekuasaan Allah.
Dan lain sebagainya.
Timbulnya dualisme pendapat yang
kontradiktif ini disebabkan perbedaan qira’at dalam Q.S. Ali Imran ayat 7. Pertama,
mentapkan wakaf pada lafal إِلا
اللَّهُ. Qira’at ini didukung oleh Ibn Abbas, ‘Aisyah, Ibn Mas’ud dan lain-lain.
Kemudian diikuti oleh Abu Hanifah, dan mayoritas ahli hadits.[14]
Dengan demikian menurut qira’at ini, ungkapan .... وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ adalah
kalimat baru. Dengan cara baca seperti ini berarti orang-orang yang sangat
dalam pengetahuannya tidak mengetahui takwil melainkan mereka berkata “kami mengimaninya
saja”.
Kedua, mereka
yang membolehkan penakwilan aya-ayat mutasyabih itu didasari pada qira’at yang
menempatkan wakaf pada lafal ... فِي الْعِلْم. Qira’atini dipilih oleh ibn
al-Hajib, Mujahid, Ibn Qutaybat dan lain-lain. Dengan demikian, maka ayat
tersebut dipahami menjadi ”Tidak ada yang tahu takwilnya (ayat-ayat
mutasyabihat itu) kecuali Allah dan orang-orang yang mendalami ilmunya; seraya
mereka menyatakan kami percaya bahwa semua itu berasal dari Tuhan kami. [15]
Mengacu pada masalah ini Ibn Taimiyat membantah pendapat yang menyatakan bahwa
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat
yang tidak diketahui maknanya dikalangan ulama salaf. Kiranya hal ini
didasari pada do’a Rasulallah untuk Ibn ‘Abbas. Pemikiran
Ibn Abbas diyakini sebagai salah satu model penafsiran paling akurat baik bagi
kalangan mufassir bi il-Ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al-Ra’yi.
Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah satu seorang tokoh
yang berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al-Aqur’an.[16]
Ia merujuk pada syair-syait Arab kuno ataupun percakapan Arab Badui yang
memiliki kemurnian bahasa yang tinggi untuk memahami makna ayat-ayat yang sulit
dipahami. Pada mulanya ia sama sekali tidak mengetahui kata فاطرالسموات , sampai suatu ketika ia
mendengar dua orang Arab badui tengah bertikai masalah sebeuah sumur. Salah
seorang Arab Badui mengatakan: انا
فطرتها (aku yang membuatnya). dengan adanya percakapan
tersebut, barulah ia mengetahui makna dari kata فطر.
4. Urgensi Ayat-Ayat
Mutasya>biha>t terhadap Ilmu Keislaman
Keberadaan ayat-ayat Mutasyabih ini
mempunyai peran yang sangat signifikan diantaranya: dalam rangka mengembangkan
potensi nalar pikiran.
Seandainya
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi sudah membawa pemahaman
yang paripurna lagi jelas, tentu tidak ada gunanya lagi upaya mengerahkan daya
ijtihad untuk memahaminya;
sebagai penekanan bahwa kandungan al-Qur’an mencakup seluruh tingkatan
intelektual manusia. Misalnya al-Qur’an
sering menggunakan bahasa yang sederhana atau mewakili dari suatu kata
agar orang awam bisa memahaminya, namun di balik pesan sederhana tersebut bagi
yang mempunyai pemikiran mendalam juga bisa menggali arti tersembunyi dari kata
tersebut; mengisyaratkan manusia untuk selalu bersiap diri. Seandainya hari
kiamat dan hal-hal gaib lainnya bisa diketahui secara mudah maka manusia
menjadi malas.
Pengkajian terhadap ayat-ayat
mutasyabihat juga akan
mewujudkan ragam ilmu pengetahuan baru sebagaimana sejarah mencatat
kegemilangan umat Islam yang telah melahirkan intelektual-intelektual muslim
yang pemikirannya masih dipertimbangkan di era dewasa ini.
C. PENUTUP
Demikianlah pembahasan seputar muhkam
dan mutasyabih yang telah mengalami pergesaran makna dari masa ke masa. Pada
dasarnya, sikap para ulama terdahulu tidak berarti mereka anti terhadap
penafsiran ayat-ayat mutasyabih, yang tidak mereka tolerir adalah interpretasi
yang didorong oleh maksud-maksud jahat yang bertujuan untuk mencampuri kesucian
Allah dan kitab sucinya sebagai Rahmatan li al-‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Abu.
Ulumul Qur’an sebuah Pengantar, cet II, Pekanbaru, Amzah. 2005
Chirzin,
Muhammad.
Al-Qur’an dan Ulu>mul Qur’an, Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Prima Yasa, 1998
Dahlan,
Zaini, dkk. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991
Goldzhiher, Ignaz. Madhab Tafsir, Yogyakarta, eLSAQ
Press. Cet III. 2006.
Hitami,Munzin.
Menangkap Pesan-Pesan Allah, Pekanbaru. Suska Press. 2006
Machasin.
AliQadi Abd al-Jabbar Mutasyabih Al Qur’an: Dalih Rasionalitas Al-Qur’an, yogyakarta,
Mizan, 2000.
Munawwir,
A.Warson. Kamus al- Munawwir, Edisi Kedua Yogyakarta, Pustaka
Prograsif, cet XIV, 1997
Shihab, M. Quraish. Tafsir
al-Misbah, pesan Kesan dan Keserasian al-Quran,
jakarta: Lentera Hati 2002
Al-Suyuti,
Jalaludin. Al-Itqa>n fi Ulu>mi al-Qur’an, Juz 2 Maktabah Syamilah
Thabathaba’i,
Muhammad Husain. Mengungkap Rahasia Al- Qur’an, terjemah A Malik Madani
dan Hamim Ilyas, Bandung, Mizan, 1993
[1] Maksudnya:
diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah,
akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain. Lihat Al-Quran
dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
[2]
Maksud berulang-ulang di
sini ialah hukum-hukum, pelajaran dan kisah-kisah itu diulang-ulang menyebutnya
dalam Al Quran supaya lebih kuat pengaruhnya dan lebih meresap. sebahagian ahli
tafsir mengatakan bahwa Maksudnya itu ialah bahwa ayat-ayat Al Quran itu
diulang-ulang membacanya seperti tersebut dalam mukaddimah surat Al Faatihah. Ibid.
[3]
Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan
tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Ibid
[4]
Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat:
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti
mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat
yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Ibid.
[5]
Lihat dalam Ignaz Goldzhiher, Madhab Tafsir,
Yogyakarta, eLSAQ Press. Cet III. 2006. Hlm 77-76
[6] Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir, Edisi
Kedua Yogyakarta, Pustaka Prograsif, cet XIV, 1997 , hlm. 286,287
[7] Ibid
[8] Nashrudin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir, Jogjakarta,
Pustaka Pelajar, 2005. Hlm. 153.
[9]
Ibid, Hlm. 154.
[10]
Sebagaimana keterangan Dr.
Hamim Ilyas dalam kuliahnya pada program studi al-Quran dan Hadis Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga.
[11]
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998. Hlm. 73
[12]
M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, pesan Kesan dan Keserasian al-Quran, jakarta: Lentera Hati 2002, vol
2. Hlm. 13-14; lihat juga Syamsurizal Panggabean. “Makna Muhkam dan Mutasyabih
dalam al-Qur’an,” Makalah disampaikan dalam Diskusi Al-Jami’ah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 5 Maret 1989,h.3-4. Ibid. Hlm 73
[13]
Nashrudin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir 162
[14] Ibid. Hlm. 165
[15]
Machasin, AliQadi Abd
al-Jabbar Mutasyabih Al Qur’an: Dalih Rasionalitas Al-Qur’an, yogyakarta,
Mizan, 2000. Hlm. 57-56
[16]
Munzin Hitami, Menangkap
Pesan-Pesan Allah, Pekanbaru. Suska Press. 2006. Hlm. 34
This entry was posted
on Kamis, Mei 23, 2013
at 3:16 AM
and is filed under
Keislaman
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.