Asumsi masyarakat menyatakan bahwa kebanyakan kejahatan dilakukan oleh pria dan korbannya adalah wanita. Namun sebenarnya berdasarkan U.S Department of Justice justru sebagian besar korban dari kejahatan adalah pria kecuali untuk kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual (U.S. Bureau of Justice Statistics, 2007). Tahun 2005, di United States 80% korban pembunuhan adalah pria yang hampir sama dengan persentasi pembunuhnya, yaitu 90% pria (Federal Bureau of Investigation, 2007). Kenyataan ini mendukung asumsi bahwa pria lebih kejam daripada wanita tapi di lain pihak pria juga lah yang mendominasi persentase korban dari kekerasan. Dengan kata lain, pria cenderung menyerang pria lainnya—bukan wanita.
Kejahatan dengan korban wanita biasanya dilakukan oleh pria yang sudah dikenal wanita, bahkan mungkin orang yang dicintai wanita tersebut misalnya pacar atau suami. Sedangkan korban pria cenderung dibunuh oleh pria lain yang tidak dikenal.
Menjadi perempuan menawarkan posisi yang lebih aman dalam menghindari tindak kekerasan. Norma sosial mengajarkan pria tidak boleh memukul wanita. Pria diharuskan menjadi pelindung wanita. Itulah sebabnya pria cenderung lebih bersikap agresif ketika seorang pria lainnya membuatnya marah. Namun jika yang membuat marah adalah wanita, pria cenderung bmencoba bersikap lebih sabar supaya tidak menyakiti wanita tersebut.
Dalam budaya dominan pria, bahkan diajarkan bahwa pria seharusnya mengontrol wanitanya.
Violence, Sex, and Dominance
Pria mendominasi pelaku kejahatan dan pria cenderung lebih kejam (Daly & Wilson, 1988, 1990). Pria mendominasi organisasi militer. Walaupun wanita sudah mulai mewarnai organisasi militer, namun biasanya wanita dihindarkan dari kegiatan berperang.
Wanita biasanya dianggap sebagai ‘hadiah’ oleh para pria. Sehingga hal ini menawarkan suatu perlindungan dan imunitas terhadap kompetisi antar pria. Wanita biasanya dipandang sebagai sesuatu yang memperindah dan memberi kesenangan dan semangat bagi para pria. Pria juga mempertahankan control terhadap wanita. Pria menjaga wanita dari sebuah kompetisi yang mempertaruhkan status dan sumber daya dalam wilayah kekuasaan pria. Hal inilah yang membuat wanita cenderung tergantung pada pria yang dapat mencukupi kebutuhannya.
Motivasi pria membunuh wanita yang menjadi pasangannya di dominasi oleh alasan kesetiaan wanita tersebut (Wlson & Daly, 1996).
Man’s Violence toward Man
Beberapa hal yang memperkuat seorang pria menjadi korban kejahatan dibanding wanita adalah: : (1) the size and consistency of differences in aggression across cultures (Daly & Wilson, 1990), (2) the emergence of sex differences in rough-and-tumble play early in childhood (Dunn & Morgan, 1987), (3) similar sex differences in aggression among humans’ primate cousins (Meany et al., 1985), and (4) the fact that exposure to prenatal male hormones increases subsequent aggressive behavior (Goy et al., 1988).
The Evolution of Male–Male Violence:
Is Heterosexuality the Root of All Evil?
Sejak zaman Adam dan Eve diciptakan Tuhan di dunia, manusia sudah megenal hawa nafsu antarapria dan wanita. Setelah Adam dan Eve memakan buah terlarang, Tuhan berkata pada Eve bahwa Adam akan menjadi pasangan hidupnya dan Eve harus patuh pada Adam. Kemudian lahirlah putra pertama mereka yaitu Abel dan Cain yang berakhir dengan tragis, mereka berdua saling membunuh. Inilah pembunuhan pertama antar pria pada umat manusia. Pembunuhan ini dikarenakan persaingan harga diri hingga perebutan wanita.
Teori evolusi mengatakan bahwa heteroseksual adalah akar dari semua kejahatan. Wanita yang memiliki investasi reproduksi yang besar, memilih pria yang dominan secara sosial karena mereka dapat menyediakan sumber daya yang besar pula. Dengan demikian motivasi pria (yang menginginkan akses seksual terhadap wanita yang subur) adalah dengan berkompetisi dalam mencari status dan sumber daya untuk mencukupi kebutuhannya, walaupun dengan cara kekerasan. Dengan kata lain, para pria berkompetisi untuk menarik pasangannya. Lebih jauh lagi, teori evolusi mengatakan bahwa pria memastikan bahwa kebutuhannya tercukupi, tidak ada pria lain, memiliki keturunan dengan menjaga pasangan wanitanya, dan memastikan bahwa pasangannya tidak melakukan seks dengan pria lain (Daly & Wilson, 1988; Daly et al., 1982; Smuts, 1995).
Patriarchy Oppresses . . . Men?
Budaya patriarki tidak hanya menindas wanita (pria bekerja mencari nafkah untuk menghidupi wanita dan mengontrolnya dan menuntut kesetiaan dari wanita tersebut) namun juga menekan jiwa para pria. Budaya patriarki secara kuat mendorong pria untuk menjadi lawan dari pria lainnya.
Social Structural and Cultural Causes
of Male–Male Violence
Struktur sosial dan budaya turut andil dalam membentuk dan memperburuk patriarki dan kekerasan meningkat. Pria diharapkan dapat mencukupi kebutuhannya, mempertahankan daerahnya dan menjadi pelindung bagi wanita.
Violence in Relationships
The Evolution of Male–Female
Violence:
Paternity, Fidelity, and Sexual Jealousy
Pria diciptakan untuk mengumpulkan sumber daya sebanyak-banyaknya untuk menarik para wanita. Itulah sebabnya pria tidak dikondisikan untuk membunuh wanita. Namun pria membutuhkan kesetiaan pasangan wanitanya dan jika wanita tidak setia maka hal itu dapat menimbulkan kecemburuan dan frustasi. Karena jika pasangannya berselingkuh dengan pria lain itu berarti telah mengganggu daerah kekuasaannya.
Sementara kecemburuan pada wanita lebih dikarenakan wanita tersebut tergantung secara finansial terhadap pria sehingga merasa cemburu jika pria-nya menghidupi wanita lain. Secara ringkas, teori evolusi menyatakan bahwa pria mencegah pasangannya melakukan hubungan seks dengan pria lain. Sementara wanita lebih mengkhawatirkan jika pasangannya memiliki hubungan emosional dengan wanita lain sehingga kemudian pasangannya menghidupi wanita lain tersebut.
Dengan begitu, pria lebih stress ketika membayangkan wanitanya berhubungan dengan pria lain secara seksual (meskipun tidak secara emosional) dan wanita lebih mengkhawatirkan jika pasangannya jatuh cinta dengan wanita lain dan terlibat kemesraan secara emosional.
Itulah mengapa ketidaksetiaan wanita kerap menjadikan pasangannya membunuhnya. Pria biasanya telah memberi pengertian kepada wanitanya untuk tidak berselingkuh. Kekerasan lain yang dilakukan pria terhadap pasangannya adalah membatasi gerak wanitanya. Pria menginginkan control penuh terhadap pasangannya secara seksual.
Social Structural and Cultural Causes
of Male–Female
Violence
Power Differences, Sexist Ideologies,
and Relationship Violence
Kekerasan dalam hubungan pria terhadap wanita berkorelasi dengan perbedaan jenis kelamin dalam status dan kekuatan pada tiap variasi kultur (Archer, 2006; Vandello & Cohen, 2006; Yodanis, 2004). Dalam kehidupan sosial, wanita yang memiliki status, sumber daya, dan kekuatan yang lebih tinggi memiliki kemungkinan yang lebih rendah dalam mengalami kekerasan terhadap istri. Sementara sebaliknya, wanita yang dalam kehidupan sosial memiliki status, sumber daya, dan kekuatan yang lebih rendah memiliki kemungkinan lebih besar dalam menghadapi resiko kekerasan dari suaminya.
Honor Killings
Kehormatan bagi pria adalah kekuasaan dan ketangguhan, sedangkan kehormatan bagi wanita adalah kemurnian, pengorbanan diri sendiri, dan kepatuhan terhadap ayah, saudara laki-laki dan suaminya. Dalam beberapa budaya, wanita beresiko terbunuh ketika gagal dalam menjadi wanita yang murni, rendah hati, dan patuh (Baker et al., 1999; Vandello & Cohen, 2003).
Sexual Violence: Sexual Assault and Rape
Perkosaan adalah hubungan seksual yang dipaksakan (e.g., Palmer, 1991); atau paksaan fisik yang melingkupi tekanan untuk melakukan seks tanpa ancaman secara gamblang (Frieze, 2005).
Wanita cenderung menjadi korban perkosaan oleh orang yang sebelumnya sudah dikenal daripada orang asing (Wilson & Leith, 2001), walaupun akhir-akhir ini perkosaan melibatkan senjata tajam dan menimbulkan luka yang serius. (Rozee, 1999).
Evolutionary Explanations of Rape
Sebuah pandangan yang controversial mengatakan bahwa perkosaan adalah perilaku yang adaptif, dilakukan oleh pria yang gagal menarik lawan jenis (Thornhill & Thornhill, 1983)
Karena pria memiliki investasi reproduktif yang lebih rendah daripada wanita, mereka menjadi tidak terlalu pemilih dalam mencari pasangan hidup terutama untuk hubungan jangka pendek, dan memiliki kekuatan yang besar dan tentu lebih agresif (Palmer, 1991). Sehingga pria cenderung mencari kepuasan seksual dalam setiap kesempatan melibatkan taktik yang asertif yang dapat dengan mudah didapatkan jika dengan paksaan. Tentu saja perkosaan bukanlah kebutuhan biologis yang mutlak.
Perkosaan biasa dilakukan oleh pria yang sebelumnya terbangkitkan nafsunya oleh kekerasan pornografi biasanya menggunakan kekerasan (Lohr, Adams, & Davis, 1997)
Dan pelaku perkosaan yang menggunakan kekerasan mengaku memiliki hasrat seksual yang sangat besar dan di luar kewajaran (Christopher & Sprecher, 2000).
Social Structural Explanations for Rape
Perkosaan biasa terjadi pada daerah dengan budaya yang menempatkan perempuan pada status yang lebih rendah daripada laki-laki (Yodanis, 2004). Laki-laki yang dominan memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan perkosaan dalam lingkungan kerja (e.g., to sexually harass women; Rudman & Borgida, 1995) secara adisional, untuk beberapa pria, memiliki kekuatan di atas wanita berarti memperoleh control atas atraksi seksual dan memperbesar kemungkinan atas atensi atraksi seksual yang tidak diinginkan (Bargh & Raymond, 1995).
Bagaimanapun, ketika status dan kekuatan wanita meningkat, hal itu mengurangi perkosaan dan kekerasan dalam lingkungan kerja.
Wartime Rape
Perang meningkatkan insiden perkosaan. Wanita di daerah musuh tidak mendapat perlindungan atas perkosaan. Ketika Soviet menyerbu Berlin dalam perang dunia II, diperkirakan jumlah perkosaan meningkat antara 10.000 hingga ratusan ribu kasus (Brownmiller, 1975; Grossman, 1999). Penjelasan perkosaan dalam perang termasuk pandangan bahwa hal itu termasuk strategi untuk meruntuhkan moral musuh secara sengaja. Menunjukkan pada pria di daerah musuh bahwa mereka tidak mampu melindungi istri, saudara perempuan, dan anak perempuan mereka (Gottschall, 2004). Perkosaan merupakan satu pilihan yang dapat dilakukan pria untuk menunjukkan kekuatannya sekaligus memuaskan hasrat seksual.
This entry was posted
on Selasa, November 08, 2011
at 5:39 AM
and is filed under
wacana kiri
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.
"CERDASKAN ANAK BANGSA DENGAN SECANGKIR KOPI"
muslih sumantri. Diberdayakan oleh Blogger.
REOG PONOROGO

Contributors
- Unknown
ATAP LANGIT
PENDAKIAN LAWU HARGO DUMILAH...!!!
CAH CERDAS...
Mencari Makna akan Cinta.....!!!!
DARAH JUANG

TURUN AKSI

Presiden sedang bacakan tuntutan mahasiswa kepada rektorat
INDAHNYA KEBERSAMAAN
Sahabat......kapan kita akan terus bersama dalam senang, duka, tangis, tawa....!!!!
Total Pageviews
Makrab PMII
Senyum sahabat.....!!!!!
Contributors
Lencana Facebook
Pencarian
Arsip Blog
Categories
Pengikut
Entri Populer
-
Dalam perspektif Islam, alam semesta adalah segala sesuatu selain AllahSWT. [1] Oleh karenanya, alam semesta bukan hanya langit dan bumi,...
-
1. Pengertian · Secara bahasa, istilah “Civic Education” oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ...
-
BAB I PENDAHULUAN Judul pembahasan yang kita bahas adalah “Kebijakan otonomi daerah dalam kerangka NKRI”. Tema ini relevan untuk di...