undefined
undefined
Membongkar Radikalisme Agama
Salah satu Pekerjaan Rumah terbesar aparatur dan pemerintah Indonesia,
selain kasus korupsi, adalah meredam radikalisme. Paham radikalisme sangat
rentan menghinggapi pola pikir rakyat Indonesia. Parahnya, radikalisme tidak
dikonsumsi pribadi namun juga turut merugikan orang lain. Pasalnya, radikalisme
berujung pada tindakan destruktif berupa tindakan teror atau yang lazim dikenal
dengan terorisme.
Di Indonesia kasus terorisme
latah terjadi. Hal ini disinyalir menanti kelengahan aparat keamanan dan bisa beraksi
kembali setiap saat. Dewasa ini tindak terorisme lazim dilakukan dengan teror
bom hingga bom bunuh diri. Tercatat bom Bali, bom Cirebon, dan teror bom-bom
lainnya, menggunakan amunisi peledak.
Fenomena unik tampak pada kasus
terorisme. Bukan persoalan pemakaian sarana bom, namun yang paling menarik
adalah pada si pelaku. Bagaimana tidak menarik, kematian bagi mayoritas manusia
adalah suatu hal yang mengerikan, namun bagi pelaku bom bunuh diri, alias ‘sang
pengantin’ kematian adalah yang paling dinanti.
Menarik jika kita menelusuri
asal-muasal dan mata rantai sikap radikal. Termasuk pula sikap terhadap pihak
lain yang dipandang sebagai musuh islam yang menjadi sasaran jihad menurut
pahaman kalangan radikal. Karena memang tak bisa dipungkiri stigma terorisme
dan radikalisme melekat erat pada agama Islam.
Radikalisme diartikan sebagai
paham atau aliran yang menghendaki perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik secara drastis, bahkan seringkali dilakukan dengan cara-cara anarkhis.
Paham dan perilaku ini menjadi lebih ekstrem jika didasari oleh suatu ideologi
atau keyakinan yang bersumber dari ajaran agama.
Bagi kaum radikal, perubahan
yang tidak sejalan dengan doktrin agama yang diyakininya dinilai sebagai
ancaman yang harus dilawan dan dihancurkan. Pandangan ini diperparah dengan
dukungan pemahaman teks suci agama secara literalis. Tak pelak, bom bunuh diri
pun mereka yakini sebagai bentuk jihad dan berbalas surga.
Doktrin
hidup mulia atau mati syahid (istisyhad), juga memiliki peran sentral menumbuhkan
sikap radikal. Menurut mereka, hidup mulia berarti menang melawan musuh Islam
yang selalu melakukan konspirasi jahat menjatuhkan Islam. Namun ketika
kemenangan itu gagal diraih, lebih baik mati syahid, mati melawan musuh Islam
yang terdiri dari orang-orang kafir dan bangsa-bangsa Barat yang telah
meruntuhkan kekuasaan Islam melalui perang Salib.
Mereka membagi dunia global ke
dalam dua diametral (hitam-putih), yaitu darus salam di satu sisi yang
menjadikan syari’ah sebagai referansi utama, dan daarul harb yang
menurut mereka dikuasai oleh peradaban Barat yang pagan. Bahkan masyarakat
suatu bangsa yang tidak tegas menolak peradaban Barat diposisikan sebagai daarul
harb yang dalam kondisi tertentu halal dibunuh dan hartanya halal dirampas.
Kampanye khilafah Islamiyah
kerap kali digulirkan sebagai bentuk resistensi terhadap Barat. Bagi mereka
pembentukan Negara Islam adalah solusi terbaik untuk kembali memperoleh
kejayaan Islam. Mereka juga mengutuk sistem demokrasi, lagi-lagi karena
dianggap sebagai produk Barat yang bertentangan dengan Islam.
Munir Mulkan menawarkan solusi
gerakan radikalisme melalui pendekatan kebudayaan. Menurutnya, kesalahletakan
kebudayaan, di satu sisi dan wahyu di sisi lain, merupakan akar dari hampir
semua problem sosial dan politik pemeluk Islam. Padahal kebudayaan adalah jalan
realisasi ajaran Tuhan itu sendiri.
Konstruksi keyakinan yang
disusun dari teks wahyu dan juga teks Rasul, harus diletakkan dalam peta
kebudayaan yang kebenarannya harus bersifat relative karena berdimensi historis
dan sosiologis. Dari sini, menjadi terbuka untuk menyusun tafsir ulang tentang
pokok-pokok keyakinan Iman dan ritual di dalam Islam yang boleh jadi sangat
berbeda atau bahkan bertentangan dengan apa yang kita yakini tentang Islam.
Puncaknya, kebudayaan adalah media utama menyadari dan mencapai Tuhan.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak
ada satu pun agama yang mengajarkan kekerasan. Istilah Agama muncul dari bahasa
sansekerta, ‘A’ artinya tidak dan ‘GAMA’ berarti semrawut atau amburadul.
Dengan kata lain, agama adalah pelembagaan keyakinan yang berorientasi pada
keteraturan dan perdamaian. Begitu pula dengan Islam, jika menilik orientasi utama agama Islam
adalah rahmat bagi semesta alam. Tidak ada ajaran Islam yang mengajarkan sikap
destruktif.
This entry was posted
on Kamis, Desember 27, 2012
at 1:13 AM
and is filed under
fundamentalisme
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.