undefined
undefined
PENDIDIKAN KARAKTER
Paulo Freire, pedagogik kritis asal Brazil telah
menggagas pentingnya pendidikan kritis melalui proses penyadaran (konsientisasi).
Yaitu upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan
masyarakat mengalami dehumanisasi. Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi
kenyataan sosial, ekonomi, dan politik bahkan agama serta merekonstruksi untuk
menyelesaikan pelbagai problem masyarakat. Dengan demikian pendidikan akan
menjadi problem solver, bukan malah menjadi part of problem. Membangun pendidikan kritis melalui upaya
penyadaran (konsientisasi) sebagaimana yang ditawarkan oleh Freire
tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah-langkah untuk
mencapainya.
Pertama adalah memperbaiki konsep kurikulum lembaga
keguruan sebagai pencetak calon guru. Lembaga ini harus mampu menghasilkan
calon guru yang mampu menganalisis kurikulum untuk dikaitkan langsung dengan
problem kehidupan yang ada, menjadi fasilitator, motivator, dan administrator.
Kecenderungan yang ada selama ini adalah terbatasnya kualitas lulusan pada
kemampuan sebagai administrator, sehingga guru kurang berhasil memerankan
peranan sebagai fasilitator dan motivator yang baik.
Kedua adalah mengubah
proses pembelajaran dari pedagogik ke andragogik. Pembelajaran yang bercorak
pedagogik hanya akan menghasilkan budaya bisu (the cultural of silence).
Peserta didik hanya diposisikan sebagai obyek yang harus menuruti kemauan guru.
Dengan pembelajaran yang bercorak andragogik maka peserta didik menjadi mitra
belajar bagi guru itu sendiri. Guru dan peserta didik menjadi sama-sama
belajar, ada keharmonisan dan kehangatan dalam belajar karena keduanya merasa
di”manusiakan”. Pembelajaran andragogik juga menekankan pada problem solver sehingga
teori yang diajarkan akan menjadi pisau analisis terhadap realitas yang ada,
bukannya terbatas sebagai alat untuk menjawab soal dalam ujian.
Ketiga adalah mengoptimalkan kurikulum lokal.
Kurikulum lokal yang selama ini diterjemahkan dengan muatan lokal harus
benar-benar diberdayakan. Selama ini kurikulum lokal diposisikan sebagai
pelengkap derita dan tidak dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai sebuah
keunggulan. Mestinya kurikulum lokal benar-benar menjadi branch image setiap
sekolah di wilayah tertentu sehingga memperkaya keilmuan yang ada sekaligus
konservasi terhadap keunikan-keunikan lokal, dan sebagai bentuk perimbangan
terhadap globalisasi yang semakin liar. Pencetus pendidikan karakter
yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog
Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas
kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang
terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi
seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen
yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi
diukur.
Menurut
Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan
interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi
pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian,
membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi
baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya
satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas
keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya
tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan
merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Kematangan
keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan
antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara
independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma
seorang pribadi dalam segala tindakannya.
This entry was posted
on Jumat, November 16, 2012
at 6:37 AM
and is filed under
pendidikan
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.