Buruh dan Hardiknas  

Posted by Unknown in

Setiap awal Mei, masyarakat Indonesia dihadapkan pada peringatan dua hari penting. Pertama adalah Hari Buruh yang diperingati tiap 1 Mei, dan kedua, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei. Hari Buruh lebih cenderung diramaikan dengan demo buruh menuntut keadilan dan kesejahtraan. Hardiknas condong pada seremonial akademis, seperti Workshop pendidikan, seminar pendidikan dan lainnya.
Perlu diketahui, kedua peringatan tersebut bukan absurd tanpa korelasi signifikan. Dunia buruh dengan pendidikan bersifat inheren. Karena kelahiran buruh tak lain adalah salah satu produk dunia pendidikan. Semakin rendah pendidikan seseorang, semakin sulit pula mendapat pekerjaan yang layak. Begitu pula sebaliknya. Mayoritas buruh adalah orang berpendidikan rendah. Atau jika tidak buruh adalah alumni perguruan tinggi namun minim skill. Sehingga mereka terpaksa bekerja seadanya.

Memang, pendidikan Indonesia hingga kini masih menyisakan masalah-masalah krusial. Hampir tiap periode kurikulum pendidikan silih berganti, namun pendidikan Indonesia masih tetap stagnan. Bahkan fluktuasi anggaran pendidikan hingga 20% pun masih juga belum bisa mendongkrak kualitas pendidikan kita. Di sana sini masih selalu muncul ketimpangan dan ketidakadilan.
Masalah buruh bukan masalah remeh temeh. Semua orang tentu tidak mau menjadi buruh. Bahkan konotasi kata ‘buruh’ pun adalah pekerjaan kurang layak. Buruh selalu identik dengan penindasan para feodal dan kapitalis. Pendidikan harus turut bertanggung jawab atas munculnya sosok buruh. Salah urus pendidikan yang melahirkan mereka dengan terpaksa.
Nah, buruh lahir karena pendidikan mengalami anomali. Pertama, masalah biaya pendidikan. Meskipun anggaran pendidikan sudah cukup fantastis, namun nyatanya pendidikan bermutu hanya bisa dinikmati oleh segelintir anak orang berdasi. Sekolah-sekolah yang mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seolah asal-asalan melakukan program sekolah. Di segi sarana dan SDM pun terkadang masih jauh dari kata memadai.
Bandingkan dengan sekolah swasta bonafit. Rekrutmen pengajar sangat diperhatikan. Fasilitas sekolah terbilang ‘wah’. Sehingga KBM dan program sekolah lainnya pun berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Out put yang ditelorkan pastinya produk-produk kelas wakhid. Sayang sekolah-sekolah seperti ini tidak mungkin mampu dikonsumsi oleh golongan menengah ke bawah. Hanya orang-orang berduit yang mampu mengeyamnya.
Tidak salah jika Eko Prastyo mengatakan orang miskin dilarang sekolah. Artinya, bukan secara harfiah tidak boleh sekolah. Namun sekolah orang miskin jauh dari kelayakan standarisasi pendidikan. orang miskin tidak berhak memperoleh Guru, Fasilitas, hingga kurikulum kelas wakhid. Orang miskin harus menerima pendidikan ala kadarnya.
Kedua. Pendidikan hanya cenderung memforsir masalah kognitif. Tak bisa dipungkiri pendidikan di Indonesia hanya mengedepankan aspek kognitif. Aspek psikomotorik dan afektif kurang diperhatikan dengan baik. Salah satu buktinya adalah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) ditingkatan SD, SMP dan SMA. Kelulusan siswa hanya dihitung lewat hitungan matematis nilai hasil mengerjakan soal UN. Belum ada standar kelulusan lewat praktik kejuruan yang ditekuni. Bahkan itu pun hanya pada mata pelajaran tertentu.
Berlanjut ke jenjang perguruan tinggi (PT), di sana pun tidak jauh beda dengan sebelumnya. Untuk menyabet gelar Sarjana, seorang mahasiswa hanya perlu menyelesaikan tugas akhir, skripsi. Belum lagi jika skripsi bukan karya pribadi. Dengan kata lain, ada joki skripsi yang mengerjakannya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum.
Seharusnya untuk mencapai gelar bergengsi tersebut, mahasiswa harus mampu mengaplikasikan dengan baik disiplin ilmu yang digeluti. Mahasiswa bukan hanya berkutat pada lembaran-lembaran buku lagi. Namun selayaknya mahasiswa sudah sampai pada tataran aplikatif-implementatif.
Nah, akibat salah urus sistem pendidikan Indonesia ini, tidak sedikit pengangguran yang dilahirkan dari institusi-institusi pendidikan tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada tahun 2011 jumlah sarjana menganggur mencapai angka 8,12 juta jiwa. Angka ini lebih tinggi ketimbang angka pengangguran lulusan SD. Dari tahun ke tahun angka ini terus mengalami peningkatan secara signifikan. Sehingga tak menutup kemungkinan jumlah angka sarjana menganggur di tahun 2012 ini lebih banyak lagi.
Oleh karenanya, pendidikan kita seharusnya melakukan revitalisasi di semua lini. Tujuannya tidak lain, demi mencerdaskan kehidupan bangsa secara berkeadilan. Selain itu, juga agar mampu melahirkan out put-out put yang bermutu. Momentum hari buruh dan hardiknas harus dijadikan pijakan awal untuk berbenah. (*)

This entry was posted on Jumat, Desember 13, 2013 at 2:00 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Posting Komentar