PENDIDIKAN KRITIS  

Posted by MUSLIH SUMANTRI in

Seorang Filosof bernama Plato (427-347) pernah mengatakan bahwa Pendidikan adalah tugas suci (the Holy of Mission) dan panggilan yang harus dilaksanakan oleh Negara, dan oleh sebab itu tidak boleh dilalaikan begitu saja. Pendidikan merupakan aspek kehidupan manusia yang sangat signifikan, sehingga diyakini sebagai modal utama sebuah bangsa dalam mempertahankan eksistensinya, bahkan pendidikan dijadikan sebagai barometer kualitas SDM. Pembukaan UUD 1945, secara historis sebagai Indonesian declaration of independence, di dalamnya dirumuskan sebuah konsep pencerdasan kehidupan bangsa yang berbunyi:
“...kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4, juga telah jelas disebutkan bahwa anggaran penyelenggaraan Pendidikan Nasional minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggaraan Pendidikan Nasional sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Idealnya, penyelenggaraan Pendidikan Nasional seharusnya mengacu kepada apa yang telah ditetapkan dalam konstitusi di atas, tetapi pada kenyataannya Negara telah “berselingkuh” dengan para pemodal (sistem pasar).
Memang benar apa yang dikatakan oleh Francis Fukuyama, bahwa saat ini kemenangan ideology dunia berada di pihak kapitalisme liberal. Kapitalisme berusaha mencengkeramkan pengaruhnya di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Kapitalisme dalam proses perjalanannya merubah wajahnya menjadi apa yang dikenal sebagai neo-liberalisme yang berangkat dari tesisnya Adam Smith, seorang tokoh ekonomi dari Inggris. Imbas dari kebijakan neo-liberalisme adalah mengurangi peran Negara dalam mengatur rakyatnya. Negara hanya dijadikan “penjaga” dan sama sekali tidak punya daya dorong dalam mewujudkan tatanan sosial masyarakatnya. Jadi ada benarnya analisis KH. Hasyim Wahid (Gus Iim) yang mengatakan bahwa setiap upaya yang memberikan diagnosa dan terapi bagi perubahan di negeri ini tanpa melihat dan melibatkan peta konstelasi politik global internasional niscaya akan mengalami kegagalan.
Kapitalisme dalam bentuk barunya yakni neo-liberalisme berhasil menanamkan pengaruhnya dalam setiap multi dimensi kehidupan umat manusia, termasuk dalam konteks pendidikan. Adanya bentuk komersialisasi pendidikan, sistem pendidikan nasional yang sudah dipaket, sampai pada tujuan dan fungsi pendidikan yang selalu menimbulkan pro dan kontra dikalangan akademisi dan para praktisi pendidikan. Neo-liberalisme dengan tiga agenda besarnya yakni : privatisasi/swastanisasi, deregulasi dan liberalisasi mendorong dampak yang sangat luar biasa terhadap rakyat terutama rakyat kecil. Dorongan neo-liberalisme adalah adanya pasar bebas berkedok zaman globalisasi dan modernisme.
Jika ditilik dari sejarah bangsa Indonesia, bisa dikatakan bahwa pendidikan kita adalah warisan dari kolonialisme Belanda. Hal ini tercermin dari adanya kebijakan politik etis pada tahun 1901 oleh Van Deventer yang telah mendapat restu dari Ratu Wilhelmina dengan isinya yang terdiri dari : irigrasi, edukasi dan emigrasi. Salah satu isi dari kebijakan politik etis adalah edukasi yang berarti politik balas budi terhadap kaum pribumi yang beratus-ratus tahun dijajah oleh Belanda. Pendidikan atau edukasi pada waktu itu tidak lain hanya mempunyai tujuan untuk mencetak tenaga buruh yang murah dari kalangan pribumi. Dalam proses perjalanannya yakni pada masa orde baru, pendidikan dijadikan alat untuk melanggengkan status kekuasaan penguasa. Hal ini terbukti adanya kurikulum dan sistem pendidikan yang bersifat sentralistik atau terpusat.
Fenomena lain terjadinya kegagalan proses pendidikan yang ada di Indonesia, adalah factor komersialisasi yang menggeser esensi tujuan pendidikan, factor lainnya adalah kurang pahamnya penyelenggara Negara merumuskan UU sisdiknas sehingga produk rancangan UU sisdiknas justru menimbulkan pro-kontra karena tidak berupaya meningkatkan potensi yang dimiliki manusia Indonesia, tetapi lebih mengarah kepada hal-hal yang tidak substansial, dan hanya bersifat materi kuantitatif.
Disamping itu pendidikan kita cenderung tidak menghargai budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dari fenomena sekolah plus yang menekankan anak usia play-group sudah bisa berbahasa Inggris daripada berbahasa Daerah. Padahal, dalam bahasa daerah --selain mengajarkan bahasa—juga terselip pendidikan budi pekerti, sikap santun dan unggah-ungguh pada yang lebih tua. Akibatnya, lambat laun ciri khas daerah dari sisi bahasa dan seni budaya di Negara akan lenyap. Banyak generasi muda tidak memahami dan menguasai bahasa daerah apalagi nilai luhur kultur budayanya. Ini salah satu kondisi yang sangat memprihatinkan menyangkut pendidikan pelestarian nilai-nilai seni budaya nusantara yang konon bhinneka tungal ika.
Selama pendidikan masih lepas dari esensi yang sesungguhnya, maka tak heran jika kemudian pendidikan yang ada carut-marut. Lebih dari itu pendidikan hanya dijadikan alat untuk melanggengkan status quo ataupun hegemoni dari sistem ataupun ideology kelompok yang dominan.
Untuk mengubah sistem pendidikan yang demikian harus ada perubahan kebijakan yang radikal, dengan mengubah secara fundamental proses pendidikan. Tujuannya agar realitas kehidupan masyarakat dapat dipahami secara utuh, benar, dan tepat bagi peserta didik. Untuk bisa memahami realitas dengan baik, maka proses pembelajaran yang kreatif dan visioner mutlak dihadirkan. Selain itu, dunia pendidikan juga tidak boleh terjebak pada urusan birokrasi yang melelahkan dan tidak mencerdaskan. Dalam banyak kenyataan, birokrasi pendidikan justru telah membunuh substansi pendidikan itu sendiri

Paradigma Pendidikan dan Implikasinya Terhadap Metode dan Praktik Pendidikan
Proses pendidikan baik formal maupun non-formal pada dasarnya memiliki peranan yang penting untuk melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada. Namun juga sebaliknya, dapat merupakan proses perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih adil. Peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya. Menurut pemetaan Giroux dan Aronowitz (1985), paradigma pendidikan terbagi menjadi tiga aliran, yaitu: paradigma konservatif, liberal dan kritis (radikal) yang berimplikasi terhadap subsistem pendidikan lainnya.

PARADIGMA/ METODE KONSERVATIF LIBERAL RADIKAL IMPLIKASI KESADARAN
Sentralistik 1 2 3 Magis
Partisipatoris 4 5 6 Naif
Egaliter 7 8 9 Kritis

1. Paradigma Konservatif
Bagi kaum konservatif ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil dihindari dan sudah merupakn ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Awal paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa pada dasarnya masyarakat tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Hanya Tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makana di balik itu. Namun dalam perjalanannya, paradigma konservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindari konflik yang kontradiktif.
Paradigma tersebut berimplikasi kesadaran magis pada manusia. Kesadaran magis, yaitu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan. Jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah, maka proses belajar mengajar tersebut, dalam perspektif Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat.
Pendekatan Sentralistik memiliki pengertian bahwa proses pendidikan menempatkan objek pendidikannya sebagai anak-anak, meskipun usia biologisnya sudah termasuk dewasa. pendekatan ini menilai bahwa peserta didik bagaikan bejana kosong yang harus disii oleh guru / pendidik yang bersifat Banking sistem. Konsekuensinya adalah menempatkan peserta didik sebagai objek suatu proses belajar. Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai bagian terpenting, sementara murid menjadi bagian pinggiran.
2. Paradigma Liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah dalam masyarakat. Tetapi menurut mereka, pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Walaupun demikian kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi “kosmetik”. Kesadaran Naif, melihat aspek manusia sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas, dan need for achievement dalam kesadaran ini dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Olehkarena itu man power development adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang sudah ada adalah baik dan benar. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan peserta didik agar dapat beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
3. Kesadaran Kritis melihat bahwa ternyata aspek yang paling dominan adalah dari sistem dan struktur yang salah dalam pola penerapannya. Paradigma yang dipakai adalah Paradigma Kritis dalam menganalisis permasalahan yang selalu melihat tata aturan main yang dibuat oleh sistem dari birokrasi Negara. Semisal kritik terhadap UU Sisdiknas, perubahan Perguruan Tinggi dari BUMN mnenjadi BHMN yang sangat rentan terjadinya proses komersialisasi pendidikan, dalam konteks kampus adanya pemberlakuan kode etik mahasiswa, yang mana mahasiswa dikerangkeng nalar kritisnya dan sengaja dijebak dak pragmatisme akademis belaka, kasus DPP (Dana Penunjang Pendidikan) di UIN Su-Ka Jogjakarta, kasus Biaya operasional sekolah (BOS), yang kesemuanya itu mengindikasikan institusi pendidikan yang suci telah dijual pemerintah kepada pihak swasta (pemodal), sehingga yang terjadi adalah pendidikan hanya mampu dinikmati oleh segelintir orang yang mempunyai basic ekonomi menengah ke atas, sementara masyarakat yang mempunyai basi ekonomi menengah ke bawah sama sekali tidak diberi ruang untuk menikmati nikmatnya dunia pendidikan.

Pendidikan Kritis, Apa Pula itu?.
Pendikan kritis pada dasarnya merupakan salah satu paham dalam pendidikan yang mengutamakan pemberdayaan dan pembebasan. Perdebatan mengenai peran pendidikan di lingkungan teoritis dan praktisi pendidikan kritis, tidak berbeda dengan penganut gerakan sosial untuk keadilan dan penganut teori kritik lainnya. Mereka memiliki tradisi kritis terhadap sistem kapitalisme dan mencita-citakan perubahan sosial menuju masyarakat yang adil dan demokratis. Namun ketika sampai pada pembahasan tentang kaitan antara pendidikan dan peranannya dengan perubahan sosial, para penganut paham ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
 Penganut paham reproduksi
Golongan ini sangat pesimis bahwa pendidikan mempunyai peranan untuk perubahan sosial menuju transformasi sosial. Golongan ini menganggap bahwa pendidikan dalam sistem kapitalisme berperan untuk mereproduksi sistem itu sendiri. Pendidikan akan melahirkan peserta didik yang akan memperkuat sistem dalam masyarakat.
 Penganut paham produksi
Golongan ini menyakini bahwa pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominan. Bagi penganut paham ini pendidikan senantiasa mempunyai aspek pembebasan dan pemberdayaan, jika dilakukan melalui proses yang membebaskan serta dilaksanakan dalam kerangka membangkitkan kesadaran kritis. Pandangan pendidikan seperti itulah yang melahirkan aliran pendidikan yang kita sebut sebagai pendidikan kritis.

Hakikat pendidikan adalah proses produksi kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender ataupun kesadaran lainnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses pembebasan manusia artinya manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada pada dasarnya adalah proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya.
Sedangkan visi pendidikan terhadap sistem yang dominan adalah sebagai pemihakan rakyat kecil dan tertindas untuk menciptakan kembali sistem baruu dan yang lebih adil. Pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan mengalanalisis secara bebas dan kritis untuk tranformasi sosial. Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi) yang telah mengalami proses dehumanisasi yang dikarenakan dari sistem dan struktur yang tidak adil.
Pendidikan kritis mencita-citakan perubahan sosial dan struktur menuju masyarakat yang adil dan demokratis, yakni suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan. Sedangkan tujuan minimal; mampu menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan strukur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis utuk transformasi sosial, atau dengan kata lain pendidikan mampu menciptakan humanisasi (proses pemanusiaan kembali) karena mengalami dehumanisasi. Proses pendidikan kritis berangkat dari kesadaran kritis manusia, belajar dari realitas atau pengalaman, tidak menggurui, dialogis.” Kesadaran kritis adalah kesadaran yang memuat pertanyaan tentang hubungan antara manusia dan dunia berstruktur dimana manusia hidup.
Agenda pendidikan kritis adalah menyadarkan manusia-manusia tertindas agar mampu membaca secara cerdas fenomena-fenomena di sekitar dirinya. Dengan kemampuan membaca realitas dengan tujuan menemukan relasi-relasi permasalahannya., manusia akan tersadarkan dari belenggu penindasan itu. Bahwa kemiskinan yang di gelutinya selama ini bukanlah atas dasar suratan takdir, akan tetapi akibat dominasi peran dari pihak-pihak tertentu yang berandil besar dalam menjerat hidupnnya
Pijakan dasar tradisi pendidikan adalah pemikiran dan paradigma yang secara ideologis melakukan kritik terhadap sistem dan struktur sosial, ekonomi dan politik yang tidak adil. Pendidikan dalam paham ini merupakan media untuk resistensi dan aksi sosial yang tiddak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari transformasi sosial. Bagi penganut pendidikan kritis, ketidakadilan kelas, diskriminasi gender, serta berbagai bentuk ketidakadilan sosial lainnya seperti hegemoni kultural dan politik serta dominasi melalui diskursus pengetahuan yang ada di masyarakat, akan terlefleksi dalam proses pendidikan. Refleksi ini harus menjadi “cermin” kondisi sosial dalam dunia pendidikan.

PENDIDIKAN KRITIS PAULO FREIRE
Tradisi Pendidikan kritis sangat berhutang pada Paulo Freire sebagai peletak dasar filosofinya. Freire tokoh pendidikan kritis yang meletakkan dasar “pendidikan bagi kaum tertindas”, asal Brazil. Pendidikan di mata Freire merupakan sebuah pilot project dan agenda untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan pendidikan sebagai pilot project, berarti kita berbicara tentang sistem politik kebudayaan (cultural politics) yang menyeluruh dan melampaui batas-batas teoritis dan doktrin politik tertentu, serta berbicara tentang keterkaitan anatara teori, kenyataan sosial dan makna emansipasi yang sebenarnya. Sehingga sebagai teori sosial yang radikal, wacana politik kebudayaan ini membuat kritik Freire seringkali membingungkan. Sebenarnya, pemikiran politik kebudayaannya mewakili wacana politik yang mula-mula tujuannya untuk melawan semua bentuk dominasi baik yang bersifat subjektif maupun objektif, serta perjuangan untuk menciptakan pengetahuan, keterampilan dan bentuk-bentuk hubungan sosial dan, tentu emansipasi individu.
Meskipun pendidikan yang dikembangkan oleh Freire mulanya dikembangkan dan dipraktikkan dalam rangka pemberantasan buta huruf, namun meningkatkan kesadaran kritis (critical consciousness) atau yang lebih dikenal dengan konsientiasi merupakan hakikat pendidikan Freire. Analisis Freire berangkat dari kajiannya tentang proses dominasi budaya dan politik. Dalam mengembangkan pemikiran ideologi pendidikannya, Freire menulai dengan mengkaji watak budaya dari tiga kerangka kesadaran ideologi masyarakat tertindas. Tema pokok gagasan Freire sesungguhnya mengacu kepada suatu landasan keyakinan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan “proses memanusiakan manusia manusia kembali“. Gagasan ini berangkat dari suatu sistem bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi.
Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pandangan filsafat pendidikan Freire bermula dari kritiknya terhadap praktik dunia pendidikan, yang disebutnya sebagai banking concept of education. Peserta diperlakukan sebagai objek pendidikan praktik pendidikan seperti ini bagi Freire tidak saja bersifat menjinakkan, tetapi bahkan merupakan proses dehumanisasi dan penindasan. Sebagai antitesis Freire mengembangkan suatu pendidikan yang tidak saja mentransformasikan hubungan pendidik dan peserta didik yang lebih membebaskan., serta meletakkan dasar konsep pendidikan yang memposisikan peserta didik sebagai subjek pendidikan. Konsep ini tidak hanya memperkenalkan berbagai metodologi dan praktik pendidikan yang bersifat membebaskan, tetapi juga membangkitkan kesadaran kritis warga belajar terhadap ketidakadilan sistem. Proses dan metodologi pendidikan konsientiasi ini telah mempengaruhi berbagai praktik pendidikan politik rakyat tertindas di Dunia Selatan. Konsientiasi juga berpengaruh terhadap aspek kehidupan lainnya.
Dengan Metode Freire, proses pendidikan menjadi bagian dari proses transformasi sosial dalam keseluruhan sistem perubahan sosial. Untuk meletakkan pendidikan dalam peran transformasi sosia, yakni pendidikan perlu melakukan analisi struktural tentang lokasi pemihakan pendidikan terlebih dahulu. Tanpa visi dan pemihakan yang jelas terhadap siapa, pendidikan sulit an menjadi institusi kritis untuk pembebasan dan perubahan. Selain itu juga perlu menempatkan pendidikan sebagai upaya pemberdayaan

LANTAS APA YANG AKAN KITA LAKUKAN SEBAGAI MAHASISWA ???
Mahasiswa mempunyai peranan yang penting untuk merubah dan sekaligus mengadakan pembongkaran terhadap ideologi-ideologi dominan yang selama ini menindas. Mahasiswa harus mampu memahami letak dan posisi negara beserta kepentingannya dan mengetahui apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam merespon peristiwa-peristiwa politik, ekonomi sosial dan berbagi macam persoalan bangsa, karena hanya dengan turut serta dalam perubahan zamanlah menemukan peranannya dalam setiap sendi kehidupan. Dalam hal ini diperlukan pengkayaan tentang studi-studi kasus dan isu-isu aktual yang sering terjadi dalam masyarakat pendidikan kita seperti komersialisasi pendidikan, kapitalisasi pendidikan, dan sebagainya, sehingga mahasiswa mampu tersadarkan dan mulai berpikir ke arah pendidikan Indonesia akan di bawa.


This entry was posted on Selasa, Desember 01, 2009 at 10:11 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Posting Komentar