Dunia Sunyi Lara  

Posted by MUSLIH SUMANTRI in

Suara rintihan itu makin lama makin keras, diiringi isak tangis yang membuat bulu kudukku berdiri. Jantungku mulai berdegub kencang dan keringat dingin pun mulai mengucur. Perhatianku tertuju pada jam dinding di pojok kamarku.
“Aduh, sudah jam dua belas malam rupanya!” Batinku dengan cemas.
Kesunyian malam membuat suara itu kian bertahta menguasai pikiranku yang semakin tidak karuan.
“Dug...dug...dug...!” Suara benturan terdengar berulang kali.
Aku mencoba menutup telingaku dengan kedua tangan, kuraskan udara dingin disekujur tubuhku. Suara itu hampir saja membuatku mati berdiri. Aku mencoba mengumpulkan tenaga yang masih tersisa untuk menyingkirkan ketakutan yang sedang melanda diriku. Aku pun mulai mencari suara itu berasal.
“Lara...!” Teriakku dengan keras.
Suaraku memecahkan kesunyian malam bagaikan halilintar yang siap menyambar. Satu-persatu mereka mulai berdatangan bu Broto, Nanik, Tutik, Hayati, dan Novi.
“Ada apa Ran?” Tanya bu Broto dengan cemas.
“Lara...!” Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku.
“Lara, buka pintunya!” Teriak salah seorang diantara kami.
Suara benturan semakin keras, perasaan takut dan cemas pun semakin menjadi.
Tidak lama kemudian para warga yang mulai terusik dengan kegaduhan yang kian meradang mulai mendatangi kami.
“Dobrak pintunya?” Teriak seorang laki-laki .
Dengan spontan mereka mendobrak pintu itu dengan bongkahan kayu yang berada di halaman. Berkali-kali mereka mendobrak pintu itu, dan untuk yang kelima kalinya akhirnya pintu itu terbuka.
“Lara...!” Kami pun menjerit histeris.
Mata kami terbelalak menatap Lara, lantai yang semula putih kini terdapat bercak merah yang menghiasi kening Lara. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi, serta bibirnya yang indah bak delima merekah kini mulai membiru, sekujur tubuhnya pun dingin seperti es.
“ Aku tidak mau mati!” Teriak Lara.
Lara pun semakin menjadi ia mulai mengobarak-abrik kamarnya, barang-barang mulai berjatuhan. Sepertinya ia sedang melawan sesuatu yang meneror dirinya.
“Jangan-jangan Lara kesurupan arwah mbah Kliwon, penunggu pohon asem disamping kamarnya” batinku.
Tapi orang-orang yang melihat kejadian itu mengiranya sakit jiwa, mereka pun menatap Lara dengan tatapan tajam.
“Pergi, aku tidak mau mati!” Kata-kata itu terus keluar dari mulut Lara.
“Istighfar, nak!” Ucap Bu Broto.
Seiring dengan kedatangan fajar kondisi Lara pun mulai membaik, otot wajah dan leher yang semula tegang kini mulai mengendur. Kami pun mulai menjalankan aktivitas seperti biasanya, begitu juga dengan Lara.
“Jojo...Nita...!” Sapa Lara kepada kedua anak kecil yang hendak pergi kesekolah.
Lara memberikan coklat dari dalam tasnya kepada mereka. Biasanya mereka menyambut kehadiran Lara dengan celoteh manja, namun keadaan berbanding terbalik. Mereka malah membuang coklat pemberian Lara dan berlari sambil berterik-terik.
“Ada orang gila...!” Jerit mereka dengan kerasnya.
Betapa tersayatnya perasaan Lara mendengar perkataan mereka, wajahnya pun tiba-tiba muram seperti awan mendung.
“Ini pasti ulah kedua orangtua mereka” batinku.
“Aduh...!” Teriak Lara kesakitan.
Anak-anak kecil mulai berdatangan mendengar teriakan Jojo dan Nita sambil melempari Lara dengan batu yang mereka bawa.
“Berhenti anak nakal?” Pintaku penuh emosi.
Mereka pun berlari dengan kencangnya melihat kemarahan ku yang semakin menjadi.
“ Sudahlah Ran namanya saja anak kecil, wajar saja kalau mereka nakal”ucapnya dengan sabar.
Setibanya di kampus Lara langsung menuju ke perpustakaan, dengan seriusnya ia mengamati mading yang terpampang di sana.
“Laras!” teriak seorang gadis yang berlari menghampirinya.
Namun wanita yang dipanggil Lara olehnya tak merespon panggilan gadis tersebut. Ia tetap saja memperhatikan mading yang berada dihadapannya.
“Laras...!” Gumamku dengan heran.
“Panggil dia Lara?” Ucapku.
Memang nama lengkapnya Laras Ningtias, namun ia paling tidak suka dipanggil Laras atau Tias. Baginya nama tersebut sudah menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Kejadian yang menimpa Lara semalam seolah hanya mimpi buruk saja, Pasalnya raut wajahnya yang berbinar tidak menyisakan kejadian yang mencekam. Seakan tidak ada yang terjadi pada dirinya, hanya luka memar yang masih tersisa dikeningnya.
Seperti biasanya Lara menghadiri rapat buletin yang diselenggarakan dua kali dalam sebulan. Semenjak aku mengenalnya, entah mengapa bola mataku tak henti-hentinya memperhatikan tingkah lakunya selama ini. Sesungguhnya tak ada yang berlebih dari dirinya. Paras wajahnya biasa-biasa saja, meskipun ia terlihat manis tetap saja belum dapat menandingi kecantikan Luna Maya. Lara merupakan pimipinan redaksi yang berdedikasi tinggi, namun banyak yang bilang tingkah laku Lara sedikit aneh. Awalnya aku tidak begitu mempedulikannya, namun lama-lama aku merasa kasihan terhadapnya.
“Untuk wacana bulan depan saya serahkan tugas ini pada Rani,” ucapnya dengan tegas.
Seketika itu aku tersentak dari lamunanku dan mataku terbelalak menatap Lara. “ Bagaimana bisa aku mengerjakannya!” Gumamku.
Tapi sudahlah, semoga saja Faris mau membantu menggugurkan kewajibanku. Faris merupakan mahasiswa jurusan psikologi yang sangat tergila-gila pada Lara.
Seusai rapat buletin aku langsung menghubungi Faris, dan ia pun menyangagupi permintaanku. Keesokan harinya Faris menemui ku di perpustakaan. Ia membawakan beberapa buku, jurnal, dan beberapa artikel yang ia kumpulkan selama ini.
“Ran, bagaimana jika schizofrenia yang dijadiakan wacana untuk buletin
bulan depan?” Tanyanya.
“Sebetulnya sih tidak masalah,” jawabku.
“Tapi, mengapa schizofrenia?”. Tanyaku.
“Supaya buletin kalian lebih beragam, tidak hanya membahas masalah pendidikan saja,” jawabnya dengan nada menyindir.
Sesampainya di kost aku mulai membaca satu persatu buku yang membahas schizofrenia beserta jurnal dan artikelnya. Ternyata halusinasi yang ditimbulkan oleh schizofrenia dapat membuat si penderitanya bunuh diri. Aku pun semakin antusias mempelajari schizofrenia. Apalagi buku yang memuat kisah hidup Ken Steele seorang penderita schizofrenia yang berhasil terbebas dari penyakit ynag mengerikan itu membuatku sangat terharu. Tiba-tiba saja muncul suara aneh yang mencoba mengusik ketenanganku.
“Lara...!” Batinku dengan cemas.
Aku pun berlari menuju kamarnya detak jantungkku pun kembali berdegub kencang. Aku mencoba membuka pintu kamarnya, yang terbayangkan di benakku kejadian semalam terulang kembali.
“Tidak mungkin, bagaimana bisa tak ada siapa-siapa di kamar Lara” gumamku dengan heran.
Aku pun mulai mengamati seisi ruangan, mungkin saja ada kucing yang masuk ke kamar Lara. Lukisan-lukisan Lara menghiasi dinding kamarnya, dengan warna-warna pudar menimbulkan kesan sunyi dan mistik. Aku pun mulai membenahi kamar Lara yang masih berantakkan sejak kejadiaan semalam. Satu persatu ku benahi kaleng-kaleng cat yang tercecer di lantai serta yang menggelinding di bawah tempat tidur.
“Astagfirullah!” Teriakku dengan spontan .
Aku pun berlari keluar sambil berteriak-teriak meminta pertolongan. Aku tidak tahu makhluk apa yang berada di bawah tempat tidur Lara, yang kutahu tubuhnya berwarna putih. Novi,Tuti, dan Nani mencoba memeriksa kamar Lara. Jantung kami pun berdetak semakin kencang perasan takut dan cemas membuat bulu kuduk kami berdiri.
“Lara...!” Teriak Tuti dengan heran.
“Lara, sedang apa kau di sana?” Tanya Nani
“ Lara cepat keluar dari persembunyian mu?” Pinta ku
“Jangan takut ada kami di sini!” Ucap Novi.
Rupanya Novi tahu benar sikap Lara yang kerap menyembunyikan dirinya bila ketakutan sedang melanda. Aku pun sempat mendengar dari teman sekelasnya perilaku Lara yang kerap bersembunyi di bawah meja bahkan dibalik korden.
Dengan kain putih yang menutupi sekujur tubuhnya ia tetep saja bersembunyi di sana, seperti ada sesuatau yang mengancam dirinya. Kami pun sempat terkejut, orang-orang mulai berdatangan mencari Lara.
“Mana Lara?” Tanya bu Broto dengan geramnya.
“Dasar orang gila tidak tahu diuntung,” teriak salah seorang diantara mereka.
“Bawa saja ia ke rumah sakit jiwa?” Pinta mereka.
Seketika itu emosi kami meledak-ledak ketika induk semang kami bersama para warga mencoba membawa Lara kerumah sakit jiwa dengan paksa.
“Jangan bawa Lara!” Teriak kami sambil memukul orang-orang yang mencoba membawanya.
Lara pun terus berontak dan berusaha melarikan diri namun ia tidak berhasil. Lara meronta-ronta seperti hewan yang akan disembelih. Tangan dan kakinya diikat serta mulutnya dibungkam. Kami pun terus melempari mobil yang membawa Lara kerumah sakit jiwa.
Andai saja Faris datang lima belas menit lebih awal, mungkin kejadian ini tidak terjadi.
“Ran, mana Lara?” Tanyanya dengan cemas.
“Bu Broto telah membawanya kerumah sakit jiwa,” jawabku.
Faris pun terkejut mendengar perkataanku.
“Bagaimana bisa?” Tanyanya penuh emosi.
“Bu Broto mengiranya sakit jiwa”ucapku.
“Lara bukan sakit jiwa!” Teriaknya penuh emosi.
“Kau tau kenapa aku memberikan buku, jurnal, dan kliping tentang schizofrenia padamu?”
“Jadi kau pikir Lara menderita schizofrenia?” Tanyaku.
“Mungkin ia, mungkin juga tidak” Jawabnya.
Lara sering menceritakan hal-hal aneh yang menimpa dirinya dan itu mirip sekali dengan penderita schizofrenia paranoid. Ia kerap sekali menerima teror berupa suara-suara untuk segera mengaakhiri hidupnya.
“Bunuh dirimu pecundang, kamu layak mati!” Ucap suara-suara itu.
“Apa schizofrenia paranoid bisa di sembuhkan?” Tanyaku.
“ Secara teori sulit disembuhkan, tapi Ken Steele bisa terbebas dari peyakit yang dideritanya selama belasan tahun.
Keesokan harinya aku dan Faris mengunjungi Lara di rumah sakit setibanya disana kami langsung mencari Lara, kami berniat membawanya pulang namun pihak rumah sakit tidak mengijinkannya. Kerena kondisi Lara yang tidak stabil membut para dokter terus mengawasi gerak-geriknya yang kerap kali mencoba mengakhiri hidupnya.
Keadaannya sudah lebih tenang setelah dokter memberikan beberapa butir falibrium, dan valium sejenis obat penenang, katanya.
“Lara, sampai kapan pun kamu akan tetap ada di hati kami”,ucapku
“Hanya orang-orang hebatlah yang diberi cobaan berat sang pencipta”
Kata-kata bijak itu keluar dari mulut Faris, orang yang selama ini mencintainya. Lara pun tersenyum hingga kedua lesung pipitnya nampak begitu jelas. Sepertinya Lara mulai menaruh hati pada Faris.
“Kamu pasti mampu melewati ini semua,” ucap Dr. Siwi yang selama ini merawat Lara.
Sudah hampir sebulan Lara berada di rumah sakit, namun tidak menunjukan tanda-tanda kesembuhan. Wajahnya pucat dan tubuhnya kurus kering. Tatapan matanya benar-benar kosong. Kelakuan Lara semakin aneh ia menyeret kakinya maju mundur seperti zombie. Aku pun menanyakan hal tersebut pada pihak rumah sakit ternyata Lara menjadi seperti itu akibat pemberian horazine, stelazine dan haldol dengan dosis tinggi.
“Sret...sret...” suara itu terdengar berulang-ulangkali.
Suara itu terdengar memilukan seperti tubuh yang tersayat-sayat dan penuh keputusasaan. Kini Lara dimasukan ke dalam pengasingan, dengan pintu terbuka dan anggota staf khusus yang menjaganya.
Aku yakin berita yang akan kusampaikan padanya akan memberikan sedikit perubahan pada dirinya. Setidaknya ia dapat menyadari bahwa dirinya sangat berguna. Aku, Faris dan teman-temannya mendatanginya tepat di hari ulang tahun Kami pun sudah mempersiapkan kue ulang tahun beserta kado istimewa untuknya, yang terbayangkan dibenak kami senyuman Lara akan kembali menghiasi wajahnya yang manis. Ia pasti terkejut, setelah ia mengetahui novelnya telah diterbitkan.
Sesampainya disana Laralah yang terlebih dahulu memberi kejutan pada kami. Ia sudah tidak menghuni pengasingan lagi dan tidak ada dokter khusus yang menjaganya.
Kami pun mengantarkannya pulang ketempat dimana ia lahir dan dibesarkan. Purworjo, di tempat itulah kini Lara tinggal, tempat yang jauh dari keramaian dan dihiasi pohon kamboja yang terus bersemi tanpa henti. Andai saja Lara sempat mendengar kabar yang akan ku sampaikan, setidaknya ia dapat merasakan kebahagiaan diakhir hidupnya. Tapi ia pergi dengan membawa nama yang mengisahkan hidupnya, Lara.
Kami melepas kepergian Lara dengan linangan air mata akibat overdosis yang merenggut nyawanya. Tak tahan dengan suara-suara yang kerap menerorny, membuat Lara terpaksa meminum obat antipsikotik secara berlebihan tanpa pengawasan dokter. Orangtua Lara pun tidak menuntut pihak rumah sakit tersebut.
“ Lha wong namanya sudah takdir mau diapakan lagi, Lara pasti bahagia di sana di surga tempat anak yang berbakti pada orngtuanya.”
Kesedihan yang mendalam tampak diwajah Faris, tapi ia mencoba menerima kepergian Lara dengan ikhlas. Rasa penyesalan bu Broto dan para warga tampak diraut wajah mereka
Bendera putih, kain kafan, keranda, serta iring-iringan mobil jenazah yang mengantarkannya ke pemakaman menjadikan tanda penghormatan terakhir padanya. Kini Lara telah berada dipangkuan ilahi, tetapi karyanya tidak ikut terkubur bersamanya. Lukisan-lukisannya terpampang diberbagai galeri dan novelnya akan diadopsi kedalam film layar lebar.
Seiring dengan kepergian Lara, Langit pun nampaknya dirundung kesedihan, mega mendung terus memayungai sekitar pemakaman dimana jasad Lara kini bersemayam. Tangisan awan pun membasahi tanah pekuburan yang masih merah. Pemandangan serba hitam menambahkan kesan kesedihan atas kepergian Lara, seketika itu semua menjadi sunyi.


This entry was posted on Sabtu, Juni 27, 2009 at 3:15 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Posting Komentar