Posted by MUSLIH SUMANTRI in

“Fundamentalis Moderat” di Timur Tengah
Oleh: Sumanto al-Qurtuby
Kelompok fundamentalis Muslim bisanya selalu diidentikkan dengan kekerasan, anti-demokrasi, kebebasan sipil, sekularisme, pluralisme, dan lain-lain, serta dituduh menghambat perkembangan civil society dan civic culture. Namun klaim ini tidak selamanya akurat. Beberapa dekade ini ada perkembangan menarik mengenai fenomena fundamentalisme Islam di Arab dan Timur Tengah.
Beberapa faksi fundamentalis Muslim di kawasan ini tidak lagi alergi dengan wacana demokrasi, liberalisme, freedom, feminisme, dan berbagai isu fundamental yang berkaitan dengan civil liberties dan human rights. Sebaliknya, mereka memperjuangkan ide-ide itu ke tataran praktis dengan cara-cara beradab, bukan melalui jalan kekerasan seperti kebanyakan kelompok ini lakukan. Bahkan mereka terang-terangan mengkritik kelompok fundamentalis yang masih menggunakan cara-cara kekerasan (pengrusakan, teror, dll) dalam menyampaikan masalah keumatan.
Inilah yang saya sebut sebagai “fundamentalis moderat” atau, meminjam istilah Nader Hashemi, “Islamis liberal”. Arus baru fundamentalisme Islam ini telah menarik perhatian beberapa sarjana kajian keislaman seperti Gudrun Kramer, Ahmad Mousalli, Carl Brown, Anthony Shadid, Augustus Richard Norton, dan belakangan Asef Bayat, direktur baru ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World) di Leiden University.
Dalam buku terbarunya, Making Islam Democratic: Social Movements and the Post-Islamist Turn, Asef Bayat memberi ulasan menarik mengenai fenomena ini. Dia mengatakan bahwa diskusi tentang “Islam sesuai atau tidak sesuai dengan demokrasi” sudah tidak relevan lagi, karena dunia Islam, khususnya Arab dan Timur Tengah, sedang “in the process of democracy.” Kesimpulan Bayat ini didasarkan pada hasil risetnya tentang “post-Islamist” Iran dan Hizb al-Wasath (Partai Tengah/Moderat) di Mesir, di mana menurutnya, gerakan-gerakan sosial dan perjuangan politik yang dipelopori organisasi mahasiswa, kaum perempuan, akademisi, aktivis, dan bahkan kaum ulama, telah memberi kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi, pluralisme, dan liberalisme, serta mendorong pertumbuhan civil society di kedua negara itu.
Iran memang dikenal dunia internasional sebagai negara yang telah melahirkan tokoh-tokoh yang bersuara lantang tentang demokrasi dan kebebasan sipil, terutama sejak Imam Khomeini memberlakukan otoritas dan supremasi ulama di atas segela-galanya dan memberangus ekspresi civil liberties. Suara lantang itu tidak hanya muncul dari kelompok aktivis NGO dan kaum intelektual kampus saja tapi juga dari dalam mullah sendiri yang selama ini dikenal konservaif.
Di Mesir, perubahan fundamental juga terjadi di tubuh Hizb al-Wasath, sayap pecahan Ikhwanul Muslimin. Fenomena Hizb al-Wasath ini menarik karena seperti ditunjukkan dalam studi Bayat dan juga Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet: Despots, Democrats, and the New Politics of Islam, kelompok/partai “Islam kanan” ini telah melakukan reformasi mendasar mengenai fondasi keagamaan kepartaian berupa menerima non-Muslim (khususnya Kristen Koptik) dan kaum perempuan dalam struktur politik partai dan calon legislatif, serta bersedia bekerja sama dengan partai non-Islam.
Pemandangan ini tentu tidak umum buat partai Islam kanan yang selama ini dikenal memiliki visi keislaman ketat dan konservatif. Dengan perspektif baru kepartaian ini, Hizb al-Wasath menegaskan keberbedaannya dengan mainstream Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang dikenal konservatif dan tidak menghargai kebebasan sipil, anti-demokrasi dan pluralisme. Penegasan keberbedaan ini disampaikan oleh salah satu pendiri Hizb al-Wasath, Essam Sultan, yang mengatakan bahwa partainya berbeda secara fundamental dengan IM dalam hal “keimanan” pada pluralisme, demokrasi, kebebasan berpikir dan berkespresi, serta hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer.
Essam Sultan mengklaim bahwa IM, dengan pandangan-pandangan konservatifnya, telah mengisolasi diri dari komunitas luar non-IM, padahal menurutnya kelompok/grup di luar partai harus dijadikan sebagai bagian dari perubahan global. Renaissance bagi masa depan Mesir, menurutnya, tidak akan berhasil tanpa melibatkan komunitas yang lebih luas termasuk non-Muslim dan kaum perempuan yang selama ini selalu dalam “pojok” sejarah kepolitikan Islam (Shadid, 2002: 262).
Arus baru “fundamentalis moderat” atau “Islamis liberal” ini tidak hanya terjadi di Mesir dan Iran saja tetapi di berbagai kawasan Arab dan Timur Tengah lain seperti Arab Saudi, Yordania, Suriah, Tunisia, dan lainnya, seperti ditunjukkan studi Gudrun Kramer, senior research fellow di Stiftung Wissenschaft und Politik di Jerman, dan Ahmad Mousalli, profesor ilmu politik di American University di Beirut. Kedua sarjana ahli kajian Islam ini telah melakukan riset mengenai fenomena kelompok ini dengan mengkaji pemikiran para tokoh muslim “fundamentalis moderat” seperti Rashid Ghannushi (pendiri Hizb al-Nahda di Tunisia), Muhammad ‘Ammara, Muhammad Salim al-‘Awwa, Fahmi Hawaidi, Muhammad Hashim al-Hamidi, dan sebagainya.
Al-Hamidi misalnya menegaskan bahwa dunia Arab—dan Islam—harus dibangun berdasarkan sistem politik demokratis dan adil menyangkut partisipasi publik, penghargaan pada minoritas politik dan agama, menjunjung kemerdekaan berpikir, kebebasan sipil, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain, bahkan termasuk membolehkan kaum komunis untuk berpartisipasi dalam kepolitikan.
Dalam konteks pemikiran fundamentalis dan rezim Arab-Timur Tengah yang tradisionalis dan konservatif, wacana yang mereka dengungkan tentu sangat maju dan modern. Mengomentari fenomena perubahan ways of thinking dari kelompok “Islam kanan” ini, Mousalli (dalam Norton, Civil Society in the Middle East, 1995: 11 mengatakan bahwa “para pemikir fundamentalis moderat tentu bukan demokrat liberal Barat, tetapi mereka cukup moderat dan demokratis dalam konteks pemerintahan Arab dan Timur Tengah yang dikontrol para pemimpin nasionalis otoriter dan para raja tradisional yang despotik.” Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet juga menandaskan adanya samudra perubahan Islam politik dan “proses pendewasaan” berpikir kelompok “Islamis” menyangkut wacana civil society, negara/sistem pemerintahan, demokrasi, dan perjuangan tanpa kekerasan.
Tapi memang tidak semua sarjana dan pengamat berpendapat positif mengenai tren baru “fundamentalis moderat” ini. Ada juga yang berkomentar sumir dan skeptis. Mereka mempertanyakan apakah kaum “fundamentalis moderat” itu tulus dalam menyuarakan keyakinan prinsip-prinsip demokrasi atau hanya sekedar beretorika, sebagai taktik dan strategi untuk mendapatkan simpati dan dukungan publik dalam pemilu, sebagai jalan menuju kekuasaan?
Dan memang, banyak bahwa moderatisme dan demokrasi yang mereka wacanakan hanya sebatas wacana dan tidak pernah menjadi kenyataan. Kasus Amir Arselan di Lebanon atau Hasan Turabi di Sudan adalah contoh nyata bagaimana masalah kebebasan sipil, pluralisme, dan demokrasi yang mereka kampanyekan hanyalah retorika belaka untuk meraup dukungan publik dalam pemilu. Setelah pemilu selesai, janji-janji manis pun selesai: mereka kembali pada “kodratnya” yang anti-demokrasi, pluralisme, dan kebebasan sipil, yang menurut mereka tidak dikenal dalam syari’at Islam.
Tetapi harap juga dicatat bahwa keberhasilan kelompok Islam kanan dalam mengais dukungan rakyat di panggung politik juga tidak lepas dari kegagalan kelompok sekuler-nasionalis Arab dan Timur Tengah dalam menjalankan roda pemerintahan. Palestina dan Mesir adalah contoh terbaik. Pamor Hamas naik karena Fatah dijerat skandal korupsi di samping terlalu lembek dalam menjalankan negosiasi dengan Israel. Kelompok “Islam kanan” di Mesir yang cukup sukses mendulang suara dalam pemilu juga tidak lepas dari perilaku rezim nasionalis-sekuler Husni Mubarak yang otoriter, despotik, dan korup.
Namun terlepas dari motivasi politik apa di balik munculnya kelompok “fundamentalis moderat” itu, pemikiran dan program-program mereka yang populis dan humanis sebagai “strategi berpolitik” menjadi menarik untuk disimak. Menarik karena dalam meraup simpati rakyat, mereka meninggalkan cara-cara klasik khas Islam fundamentalis yang penuh dengan slogan-slogan beraura agama dan “berbau surga” ke taktik dan strategi simpatik yang penuh dengan visi humanisme dan populisme sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tingkat basis seperti isu ekonomi, keadilan sosial, kesejahteraan, kemerdekaan beraktivitas dan berpikir, hubungan sosial, dan sebagainya. Mereka tidak lagi menggunakan slogan-slogan retoris syari’at Islam tetapi lebih ke isu-isu menyangkut kebutuhan riil masyarakat (human needs) dan hak-hak dasar mereka (human rights) sebagai warga negara.
Karena itu, fenomena “fundamentalis moderat” di Timur Tengah ini saya amati agak bertolak belakang dengan kelompok fundamentalis Muslim dan partai-partai berbasis Islam di Indonesia. Tren kaum fundamentalis Islam di negeri ini masih belum berubah dari pola-pola lama. Mereka umumnya masih rajin berjualan syari’at Islam dan isu-isu yang berkaitan dengan “dunia lain.” Mereka bukan berlomba-lomba menciptakan program yang populis-humanis sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, tapi sebaliknya masih menggunakan cara-cara kuno dan menjual produk-produk Arab klasik lainnya seperti hukum potong tangan, memelihara jenggot, bercadar, dll.
Juga, tidak seperti fenomena baru kaum “fundamentalis moderat” di Timur Tengah yang menggunakan cara-cara santun dan simpatik untuk mengais dukungan rakyat, kelompok fundamentalis Muslim di Indonesia masih hobi melakukan tindakan premanisme dan kekerasan yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari perspektif apapun, cara-cara “barbar” ini hanya akan merugikan dan memerosotkan citra Islam sebagai agama yang concern pada perdamaian global dan menjunjung tinggi kebebasan sipil
Satu Tanggapan to ““Fundamentalis Moderat” di Timur Tengah”
Februari 12, 2008 at 10:29 am
Oleh: Adian Husaini
Ahad (9/12/2007) lalu, di Solo, seorang mahasiswa pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta memberi saya sebuah buku berjudul “Is Religion Killing Us? (Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan al-Qur’an)”. Sudah cukup lama saya memiliki edisi bahasa Inggris buku karya Jack Nelson-Pallmeyer tersebut. Banyak hal bisa dikritisi dari isi buku ini, karena penulisnya sudah menggugat kesucian teks Al-Quran. Misalnya, penulis berkesimpulan, bahwa ”Masalah Islam yang identik dengan kekerasan tidak hanya sebatas adanya ketidaksesuaian teks-teks, tetapi berakar pada banyaknya ayat-ayat dalam Qur’an yang melegitimasi kekerasan, peperangan dan intoleransi.” (hal. 165).
Penulis buku ini juga dengan semena-mena membuat kesimpulan, bahwa ”Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” (hal. 180).
Tapi, Nelson-Pallmeyer menulis buku tersebut, berangkat dari pengalaman dan pemahamannya sebagai seorang Kristen di Barat. Pemahamannya terhadap Al-Quran dan Islam tampak dangkal. Maka, yang lebih menarik, adalah membaca kata pengantar edisi bahasa Indonesia buku ini yang ditulis oleh tokoh Katolik Dr. Haryatmoko S.J. dan khususnya oleh Dr. Hamim Ilyas, seorang dosen UIN Yogya yang juga anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Karena cukup menarik, kita perlu menyimak kata pengantar Dr. Hamim Ilyas yang berjudul ”Akar Fundamentalisme Dalam Perspektif Al-Qur’an”. Berikut ini paparan Hamim Ilyas tentang fundamentalisme:
”Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi, sehingga yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin teologis, taoi juga doktrin-doktrin ideologis. Doktrin-doktrin itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam Faraq, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi.”
Menurut Hamim Ilyas, ”Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.”
Lalu, Hamim melanjutkan tulisannya tentang fundamentalisme dengan mengutip pendapat Azyumardi Azra dan Martin E. Marty, dengan menjelaskan sebagai berikut:
Pertama, oposionalisme. Fundamentalisme dalam agama mana pun mengambil bentuk perlawanan – yang bukannya tak sering bersifat radikal – terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan atau tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam fundamentalisme Islam adalah Al-Quran dan pada batas-batas tertentu juga hadits Nabi.
Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam ”kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.
Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci.
Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci… Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat ”ideal” – seperti pada zaman kaum salaf – yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.
”Karakteristik fundamentalisme yang telah mengakar membawa konskuensi logis munculnya doktrin-doktrin yang justru mengekang, menyiksa diri dan membatasi ruang gerak, bukannya membebaskan. Doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial,” tulis sang dosen tafsir UIN Yogya ini.
Ditambahkan lagi, bahwa ”Akar fundamentalisme yang berasal dari kesalahan menafsirkan teks suci al-Qur’an ternyata benar-benar mencoreng nama Tuhan (Allah Swt) dan al-Qur’an itu sendiri. Menjadikan Islam sebagai idoelogi yang mendorong timbulnya ekstrimisme dan radikalisme dapat diyakini sebagai perilaku berlebih-lebihan dalam beragama yang jelas-jelas dilarang.”
Demikianlah kutipan paparan Dr. Hamim Ilyas tentang fundamentalisme.
Ringkasnya, menurut Hamim Ilyas, fundamentalis adalah orang-orang yang skripturalis atau literalis dalam memahami Al-Quran, menolak hermeneutika, menolak pluralisme, menolak relativisme dan sebagainya. Paparan dosen tafsir UIN Yogya tentang ”fundamentalisme Islam” ini – sebagaimana banyak cendekiawan lainnya – masih sebatas membeo definisi fundamentalisme yang aplikasikan oleh para ilmuwan Barat yang merujuk kepada pengalaman sosial-keagamaan kaum Yahudi dan Kristen. Jika dicermati, tulisan ini sebenarnya serampangan dan asal-asalan.
Kita tentu sudah maklum, bahwa istilah dan wacana fundamentalisme keagamaan dikembangkan oleh Barat menyusul berakhirnya Perang Dingin. Seperti ditulis Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, bahwa adalah manusiawi untuk membenci karena untuk penentuan jati diri dan membangun motivasi, masyarakat perlu musuh. (It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics).
Sejak itu, wacana ”fundamentalisme keagamaan”, khususnya ”fundamentalis Islam” dikembangkan. Banyak sarjana dibayar untuk meneliti dan menulis tentang masalah ini. Seminar-seminar tentang fundamentalisme digelar. Media massa memainkan peran yang dominan dalam pembentukan opini negatif tentang kaum yang dicap sebagai fundamentalis.
Istilah-istilah “Islam fundamentalis”, “Islam eksklusif”, “Islam militan”,
Islam radikal”, “Islam konservatif”, dan sejenisnya memang sering digunakan untuk memberikan stigma negatif terhadap kelompok-kelompok Islam yang pemikirannya tidak sejalan dan tidak disukai oleh Barat. Ilmuwan Yahudi, Prof. Bernard Lewis, dalam bukunya The Crisis of Islam menyatakan, bahwa fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. (Fundamentalists are anti-Western in the sense that they regard the West as the source of the evil that is corroding Muslim society).
Dalam “Catatan Pinggirnya” di Majalah Tempo, 27 Januari 2002, Gunawan Muhammad menutup tulisannya dengan kalimat: “Fundamentalisme memang aneh dan keras dan menakutkan: ia mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada gilirannya membunuh perbedaan.” Lalu, pada pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 21 Oktober 1992, Nurcholish Madjid mengatakan: “Kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika.”
Genderang perang yang ditabuh oleh Barat dan sekutu-sekutunya dalam melawan fundamentalisme agama tentu saja dibuat dalam perspektif Barat dan untuk kepentingan Barat. Karena itulah, proyek ini mendapatkan kucuran dana yang sangat besar. Salah satu yang menonjol adalah proyek liberalisasi Islam. Karena itu, kita tentu maklum dengan munculnya orang-orang seperti Hamim Ilyas ini, yang entah karena ketidaktahuannya atau karena hawa nafsunya membuat opini-opini yang menyudutkan kaum Muslim dan cendekiawan Muslim tertentu seperti al-Maududi, dengan memberi stigma negatif semacam “fundamentalis” dan sebagainya.
Kita bisa saja tidak setuju dengan sebagian pemikiran Hasan al-Banna atau Abul A’la al-Maududi. Tetapi, untuk apa memberi cap bahwa mereka adalah fundamentalis, literalis, anti-pluralis, dan sebagainya? Tuduhan-tuduhan seperti ini sebenarnya sangat naif dan bodoh, apalagi dilakukan oleh seorang doktor dan dosen tafsir. Abul A’la al-Maududi, misalnya, adalah pemikir besar yang karya-karyanya telah memberi inspirasi dan manfaat bagi jutaan kaum Muslim di seluruh dunia.
Lalu, dikatakan oleh Hamim Ilyas, bahwa salah satu ciri fundamentalis adalah menolak hermeneutika. Pada muktamarnya di Boyolali tahun 2004, NU juga menolak penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa NU juga fundamentalis? Di Muhammadiyah sendiri, banyak tokohnya yang telah menulis secara kritis bahaya penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa mereka semua itu adalah kaum fundamentalis?
Jika dikatakan Hamim Ilyas, bahwa “doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah” maka, pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, juga telah ditetapkan tujuan jangka panjang Persyarikatan Muhammadiyah, yakni “tumbuhnya kondisi dan faktor-faktor pendukung bagi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Bukankah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang mau diwujudkan oleh Muhammadiyah juga sesuai dengan konsep “Islam kaffah”? Apa Muhammadiyah juga dicap fundamentalis karena mencita-citakan terbentuknya masyarakat Islam yang kaffah?
Kita pun patut bertanya kepada doktor tafsir UIN Yogya ini, apa salahnya jika kaum Muslim ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupannya? Apa salahnya jika kaum Muslim menolak paham Pluralisme Agama, sebagaimana telah difatwakan oleh MUI dan banyak ulama lainnya? Sebelum MUI menolak paham ini tahun 2005, pada tahun 2000, Vatikan juga telah terlebih dahulu menolak paham tersebut. Juga, apa salahnya jika kaum Muslim menolak paham relativisme, yang memang merupakan paham yang merusak pikiran dan keimanan?
Sebenarnya, jika dicermati, sang dosen UIN Yogya ini pun tidak konsisten dengan paham relativisme yang diagungkannya sendiri. Lihat saja, gaya tulisannya yang menghujat dan menyalah-nyalahkan apa yang disebutnya paham fundamentalisme! Artinya, dalam hal ini, dia juga telah menjadi fundamentalis, karena merasa sok benar sendiri, dan tidak menerima pandangan lain, selain pandangannya sendiri.
Di akhir tulisannya, Dr. Hamim Ilyas mengkaitkan aksi terorisme dengan tafsir fundamentalis. Katanya: “Akhirnya, terorisme yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, dalam kenyataannya merupakan fakta yang direkayasa, mungkin oleh Barat dan mungkin juga oleh Al-Qaidah pimpinan Usama bin Ladin. Perbuatan mereka yang merusak itu sedikit banyak berhubungan dengan tafsir fundamentalisme ini sebagai basis ideologis.”
Kesimpulan yang mengaitkan terorisme dengan tafsir keagamaan sebenarnya terlalu jauh. Ada yang menarik kesimpulan sederhana, karena pelaku aksi pengeboman membaca buku-buku Ibn Taimiyah, kemudian dikatakan, bahwa buku Ibn Taimiyah adalah sumber terorisme. Padahal, ratusan juta orang telah membaca karya-karya Ibn Taimiyah, dan mereka tidak melakukan pengeboman. Karena itulah, ada sebagian politisi Barat yang meminta agar Al-Quran dilarang, hanya karena dia melihat para pelaku pengeboman juga membaca Al-Quran.
Dengan menggunakan sedikit saja kecerdasan, kita bisa membuktikan, bahwa aksi-aksi terorisme yang terjadi di berbagai penjuru dunia bukanlah dipicu oleh paham keagamaan, tetapi lebih banyak dipicu oleh faktor eksternal, terutama faktor ketidakadilan. Para pengikut Hasan al-Banna di Palestina melakukan aksi jihad – yang oleh Zionis Israel dikatakan sebagai “terorisme” — karena mereka terjajah dan terzalimi di negerinya. Di zaman penjajahan Belanda, kita juga membanggakan pahlawan-pahlawan kita yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk meraih kemerdekaan, meskipun oleh penjajah dilabeli dengan kaum ekstrimis, dan sebagainya. Di Indonesia, para pengkit Hasan al-Banna atau pengagum Abul A’la al-Maududi tidak melakukan aksi-aksi pengeboman.
Karena itulah, sangatlah tidak tepat jika masalah fundamentalisme dan terorisme dikaitkan dengan penolakan terhadap hermeneutika dan relativisme. Ini sudah sangat berlebihan dan keterlaluan dalam membebek dan membeo saja pada pendapat ilmuwan Barat. Orang yang menolak penggunaan metode hermeneutika dan menggunakan ilmu Tafsir untuk memahami Al-Quran sudah dimasukkan “kotak maut” bernama fundamentalis. Bahkan, kaum Muslim yang meyakini kebenaran agamanya sendiri, yang berjuang untuk menjadi Muslim yang kaffah juga divonis sebagai “fundamentalis”, yang dikonotasikan sudah dekat dengan “teroris”.
Di era reformasi dan penjajahan modern ini, sudah begitu banyak aset-aset umat dan bangsa yang sudah hilang. BUMN sudah banyak yang dijual. Kekayasan alam telah punah. Ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan sebagainya juga telah “dikuasai”. Yang masih tersisa dalam diri kita saat ini adalah kemerdekaan iman dan pemikiran; kemerdekaan untuk meyakini kebenaran agama kita sendiri, kemerdekaan untuk memahami Al-Quran dengan cara kita sendiri, bukan dengan cara agama atau budaya lain.
Kini, sisa-sisa milik kita yang paling pribadi dan vital itu pun mau dirampas pula. Kita tidak boleh meyakini agama kita sendiri yang benar, dan harus memeluk paham pluralisme dan relativisme. Kita tidak boleh lagi menggunakan Ilmu Tafsir kita sendiri dalam memahami Al-Quran, karena sudah ada ilmu baru yang disodorkan Barat yang bernama hermeneutika. Intinya, kita disuruh beragama, sebagaimana orang-orang Barat beragama.
Sayang sekali, saat ini, kemerdekaan iman dan pikiran kita itulah yang hendak mereka rampas, baik dengan cara halus maupun kasar. Kita bisa paham, jika yang berniat merampas kemerdekaan iman dan pikiran kita adalah orang-orang sejenis Snouck Hurgronje dan kawan-kawannya. Tapi, alangkah sedih dan prihatinnya kita, jika yang melakukan perampasan iman dan pikiran kita itu adalah oknum-oknum bergelar doktor dalam bidang agama, yang sedang berkuasa di lembaga-lembaga agama. Mudah-mudahan Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk mempertahankan iman dan pemikiran keislaman kita di tengah zaman yang penuh dengan fitnah ini. Amin.

This entry was posted on Rabu, Juli 02, 2008 at 7:12 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Posting Komentar